Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Special feature

Mengapa Pembalap Indonesia Kesulitan di Level Dunia

Hampir semua pembalap Indonesia memiliki masalah klasik yang sama saat merintis jalan untuk turun di kejuaraan dunia.

Galang Hendra Pratama, bLU cRU WorldSSP by MS, smoking bike

Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images

Dibentuknya Pertamina Mandalika SAG Team, akhir Februari lalu, serta pembangunan Sirkuit Mandalika untuk MotoGP dan Kejuaraan Dunia Superbike (WSBK) di Nusa Tenggara Barat, memunculkan asa baru bagi perkembangan olahraga balap di Indonesia.

Publik tentu berharap satu saat nanti Indonesia tidak hanya menjadi penonton di MotoGP maupun Moto2 (kategori yang diikuti Pertamina Mandalika mulai musim ini), dua dari tiga kelas top di Kejuaraan Dunia Balap Motor.

Pencinta MotoGP tentu ingin menyaksikan ada pembalap Indonesia yang turun di sana, minimal di kelas Moto2. Namun, meloloskan pembalap ke kejuaraan dunia seperti MotoGP, Moto2, maupun WSBK, jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Di Moto2, Indonesia pernah memiliki wakil Doni Tata (250 cc 2007 dan 2008, Moto2 2013), Rafid Topan Sucipto (2013), Dimas Ekky Pratama (2019), dan Andi Gilang (2020).

Meskipun tidak mustahil menembus level tertinggi ajang balap dunia, nasib para pembalap roda empat Indonesia pun setali tiga uang dengan para pembalap motor. Rio Haryanto mampu menembus Kejuaraan Dunia Formula 1 pada 2016.

Baca Juga:

Turun bersama Manor Racing MRT, pembalap asal Solo itu turun di 12 dari total 21 balapan F1 2016. Hasil terbaiknya adalah finis P15 GP Monaco. Sampai saat ini, Rio masih menjadi satu-satunya pembalap Indonesia yang mampu menembus F1.

Lalu, mengapa pembalap Indonesia, baik motor maupun mobil, sangat sulit menembus kejuaraan dunia? Atau bila sudah berhasil lolos, apa yang membuat mereka tidak mampu bertahan lama?

Banyak sekali faktor yang memengaruhi sukses tidaknya pembalap untuk lolos dan bertahan di level kejuaraan dunia. Untuk balap motor, salah satu yang sangat jelas terlihat adalah budaya dan orientasi industri yang praktis memengaruhi jenis dan iklim balap.

Pada dekade akhir 1980-an hingga awal 2000-an, balapan motor jenis underbone alias bebek nyaris digelar setiap pekan. Bukan berarti balap motor kelas Superbike (750-1.000 cc) atau Supersport (600 cc) tidak ada.

Tapi, karena pasar terbesar sepeda motor saat itu adalah motor bebek, maka produsen maupun promotor lebih gemar menggelar ajang balap underbone. Minimnya sirkuit permanen membuat balapan lebih banyak digelar di trek buatan dari jalan umum atau area parkir.

Dampaknya, karena underbone didesain bukan untuk balap, para pembalap sangat kesulitan saat turun dengan motor sport yang didesain mendekati motor balap, meskipun juga diproduksi massal.

Pembalap Astra Honda Racing Team, Mario Suryo Aji, menargetkan lima besar di FIM CEV Moto3 Junior World Championship musim ini.

Pembalap Astra Honda Racing Team, Mario Suryo Aji, menargetkan lima besar di FIM CEV Moto3 Junior World Championship musim ini.

Foto oleh: Astra Honda Racing Team

Masalah bertambah pelik karena pembalap tidak memiliki teknik mumpuni untuk berlomba di sirkuit resmi akibat terlalu sering turun di trek buatan.

Dalam satu dekade terakhir, sejumlah pembalap sudah melakukan langkah benar dengan turun di luar negeri, utamanya Eropa, yang memiliki kompetisi balap dengan jenjang jelas. Tetapi, itu hanya bisa dilakukan jika ia memiliki anggaran besar atau didukung pabrikan.

Apresiasi patut diberikan kepada sejumlah produsen motor di Tanah Air yang mendukung para pembalap berkiprah di ajang internasional. PT Astra Honda Motor lewat Astra Honda Racing Team misalnya. Tahun ini mereka memberangkatkan 12 pembalap ke berbagai level kejuaraan.

Di antara ke 12 pembalap tersebut, salah satu yang paling disorot tak lain Mario Suryo Aji. Musim 2021 menjadi tahun ketiga Mario turun di FIM CEV Moto3 Junior World Championship.

PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) juga terus mendukung kiprah Galang Hendra Pratama di Kejuaraan Dunia Supersport (WSSP). WSSP 2021 akan menjadi musim kedua Galang Hendra di balap motor 600 cc tersebut.

Musim lalu, ia memperkuat Tim bLU cRU WorldSSP by MS Racing dan finis di P24 klasemen akhir dengan 12 poin. Tahun ini, Galang Hendra akan turun dengan salah satu tim legendaris, Ten Kate, dan berharap mampu menembus 10 besar. 

Dimas Ekky Pratama sempat turun di Kejuaraan Dunia Moto2 2019 bersama Honda Team Asia namun tidak berlanjut pada musim berikutnya.

Dimas Ekky Pratama sempat turun di Kejuaraan Dunia Moto2 2019 bersama Honda Team Asia namun tidak berlanjut pada musim berikutnya.

Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images

Faktor lain yang membuat pembalap Indonesia sulit berkembang tak lain teknologi. Hampir semua olahraga balap praktis mengaplikasi teknologi tinggi karena motorsport selalu menjadi riset pabrikan.

Celakanya, teknologi motor atau mobil yang dipakai para pembalap Indonesia selalu tertinggal dibanding pembalap dari luar negeri.

Kasus Doni Tata yang harus turun di kelas 250 cc (kini Moto2) dengan motor yang tidak lagi diproduksi pabrikan karena sudah tak fokus lagi di kelas tersebut, atau Rio Haryanto yang turun dengan sasis Manor MRT05 yang tidak kompetitif, hanya sebagian kecil contoh.

Untuk mendapatkan tim balap bagus dan kendaraan berteknologi terkini, seorang pembalap memang harus menorehkan hasil bagus konsisten sepanjang musim.

Masalahnya, motorsport adalah olahraga mahal. Butuh sponsor yang mau dan mampu konsisten mendukung kiprah sang pembalap cukup lama.

Problem lainnya, untuk menjadi kompetitif, pembalap kadang tidak mampu langsung adaptif. Kesampingkan pembalap berbakat ‘di luar nalar’ seperti Valentino Rossi dan Marc Marquez, atau Kalle Rovanpera dan Oliver Solberg di Kejuaraan Dunia Reli (WRC) saat ini.  

Rio Haryanto saat turun di GP2 (sejak 2017 berganti nama FIA Formula 2) 2014 bersama Tim Caterham Racing.

Rio Haryanto saat turun di GP2 (sejak 2017 berganti nama FIA Formula 2) 2014 bersama Tim Caterham Racing.

Foto oleh: GP2 Media Service

Dengan kompetisi yang begitu ketat di berbagai ajang balap saat ini, rasanya normal jika seorang pembalap butuh dua atau tiga musim untuk menguasai teknik dan teknologi.

Motor untuk Kejuaraan Dunia Motocross memang memiliki teknologi yang nyaris sama. Namun, lagi-lagi, minimnya turun di level kompetitif membuat para kroser Indonesia kesulitan saat dituntut untuk beradu skill dan teknik balap dengan kroser luar negeri.

Satu faktor lain mungkin sulit diprediksi tetapi faktanya memang demikian. Mantan pembalap top Indonesia, Ahmad Jayadi, menyebut, apa yang dilakukan sebagian pembalap motor Indonesia dengan turun berjenjang di ajang balap luar negeri sudah benar.

“Tahapan yang dilakukan pembalap seperti Galang Hendra atau Mario Suryo Aji sudah sesuai jalur. Tetapi, saat turun di kejuaraan yang menjadi target, entah bagaimana ada pembalap lain yang jauh lebih hebat,” ucapnya kepada Motorsport Indonesia, beberapa waktu lalu.

Proses untuk menjadi pembalap hebat di ajang dunia memang panjang dan tidak mudah. Melihat sulit dan beratnya masalah untuk turun di level kejuaraan dunia, pencinta balap tak bisa begitu saja menuntut pembalap Indonesia untuk langsung berprestasi.

  

 

  

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya FIM Dorong Keterlibatan Lebih Banyak Wanita dalam Balapan
Artikel berikutnya Ingin Tegaskan Hegemoni, Rea Bidik Gelar Ketujuh WSBK

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia