Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Special feature

Syarat Sulit Pembalap AS Menembus F1

FIA belum lama ini mengungkapkan keinginannya melihat lagi ada wakil AS bersaing dalam F1. Namun apakah perlu pembalap IndyCar hijrah atau talenta Negeri Paman Sam bergabung dengan sistem jenjang di Eropa untuk sampai ke sana?

Alexander Rossi, Manor F1

Alastair Staley / Motorsport Images

Dua pekan usai pengumuman Grand Prix (GP) Miami masuk dalam jadwal Formula 1 (F1) 2022, CEO ajang balap jet darat, Stefano Domenicali, mendapat pertanyaan dari analis Wall Street soal apakah harus ada pembalap Amerika Serikat (AS) di grid.

"Jawabannya buat saya sangat jelas, ya. Anda tahu, kami bekerja dengan tim, mencoba memahami kemungkinan seperti apa yang diperlukan pembalap Amerika agar bisa menarik perhatian tim-tim F1 dalam jangka pendek," ujar Domenicali.

"Itu dapat diwujudkan. Saya tak melihatnya datang dalam dua atau tiga tahun. Tetapi, mungkin setelahnya, ya. Saya tahu ada tim yang mengawasi pembalap bagus (AS), yang jika mereka siap, akan jadi dorongan besar bagi fans Amerika."

Namun komentar yang terkesan retoris Domenicali justru ditanggapi sinis penggemar open-wheel di negeri adidaya. Pembalap IndyCar, Graham Rahal bahkan tak yakin sang CEO tahu atau pernah melihat bakat-bakat AS.

"Dengan segala hormat, Mr. Domenicali, apa Anda pernah melihat Colton Herta? Dia tidak perlu 2 atau 3 tahun, dan dia baru berusia 21. Berikan dia mobil bagus dan dia akan menang," tulis Rahal menanggapi pernyataan Domenicali via Twitter.

Tetapi, itu pun tidak menyelesaikan masalah. Pertanyaannya, apa Formula 1 kurang menghormati pembalap open-wheel AS? atau kurangnya minat racing driver Amerika untuk coba bersaing dalam F1?

Baca Juga:

Persoalannya lebih kompleks dari sekadar "kesempatan" atau "keinginan". Kedua kata itu harus dikesampingkan lebih dulu. Gagasan menemukan sponsor dan investor yang bersedia mengeluarkan dana tujuh atau delapan digit tahun demi tahun menjadi problem.

"Bagaimana Anda bisa hidup dengan membayar jutaan dolar untuk memperkuat tim yang hanya bisa membantu Anda finis ke-15? Mengapa tidak berkarier di sini (AS) dengan dana jauh lebih murah dan mengalahkan tim besar karena pada dasarnya Anda punya alat yang sama?" ujar salah satu veteran IndyCar beberapa tahun lalu.

"Formula 1 terlalu berlapis: dua tim bersaing di papan atas, tiga tim di tengah dan sisanya di belakang. Jadi, Anda mengikuti setiap balapan dengan sudah mengetahui bahwa hasil yang diraih sesuai di golongan mana tim Anda berada. Pengorbanannya terlalu besar.

"Biasanya tim yang punya program pembalap muda bakal menggunakan didikannya, jadi Anda yang tak ada dalam lingkaran itu mentok. Lihat nasih (Nico) Hulkenberg. Dia juara di semua level junior, tetapi tidak pernah meraih podium F1 sebab selalu berada di tim salah.

"Serius, saya tidak mengerti dan tak habis pikir, olahraga macam apa yang membuat Anda rela mengeluarkan banyak uang untuk kalah? Itu gila."

Apakah semua pembalap AS, termasuk generasi muda saat ini menyadari hal tersebut lebih cepat daripada rekan-rekan mereka di Eropa? Tentu harus ada penjelasan lebih jauh terkait mengapa pembalap Amerika tampak enggan mencoba meniti karier di F1.

Stefano Domenicali, CEO, Formula 1

Stefano Domenicali, CEO, Formula 1

Foto oleh: Mark Sutton / Motorsport Images

Minim Wakil

Sepanjang sejarah F1, AS hanya memiliki dua pembalap juara dunia: Mario Andretti (1978) dan Phil Hill (1961). Jumlah itu bahkan lebih sedikit dibandingkan Brasil serta Australia, yang masing-masing memiliki tiga peraih gelar jet darat.

Amerika juga pernah memiliki pembalap dengan kualitas juara seperti Dan Gurney, yang meraih empat kemenangan F1 antara periode 1962-1967. Richie Ginther serta Peter Revson juga adalah wakil AS yang sempat menang.

Sementara yang pernah menjejak podium F1 adalah Harry Schell, Masten Gregory, Mark Donohue, George Follmer, Effie Cheever dan Michael Andretti. Namun apabila benar Formula 1 merupakan sebuah kejuaraan dunia, maka representasi negara terpadat ketiga di dunia sangat buruk.

"Apa Anda tidak tahu? Orang Amerika telah secara genetik tidak berambisi untuk dapat sukses dalam F1 selama 40 tahun terakhir," salah seorang pemilik tim IndyCar mengungkapkan ketika David Malsher-Lopez dari Motorsport.com bertanya soal sikap apatis F1 dan AS.

Mario Andretti meyakini pembalap cepat di dalam tim yang bagus adalah semua yang dibutuhkan untuk membawa Amerika ke balapan Grand Prix. Ia percaya Colton Herta punya potensi menjadi sosok tersebut.

Motorsport.com juga meminta opini peraih 10 podium F1 yang kini berkarier di IndyCar, Romain Grosjean soal potensi para pembalap di AS untuk bersaing dalam kompetisi paling bergengsi single-seater.

"Pembalap di sini (AS) sangat berbakat. Banyak di antara mereka tumbuh melalui seri seperti Indy Pro 2000, Indy Lights, jalur yang ditempuh untuk menembus IndyCar. Namun atmosfernya sangat berbeda dengan Eropa," tutur Grosjean, yang memperkuat Tim Dale Coyne Racing.

Mario Andretti, Lotus

Mario Andretti, Lotus

Foto oleh: David Phipps

"AS mungkin memiliki beberapa pembalap yang telah mencoba datang ke Eropa dan mereka tidak merasa nyaman karena suasananya jauh berbeda. Saya harus menyesuaikan gaya balap saat tiba di sini. Dari Eropa ke Amerika mungkin prosesnya lebih mudah.

"Maksud saya, saya terkesan dengan level kompetisi di sini, dalam IndyCar. Saya yakin mereka (pembalap AS) punya potensi besar. Namun masalahnya lebih dari itu, apakah si pembalap akan cocok dengan model (kejuaraan) Eropa?"

Colton Herta adalah nama yang paling sering disebut sebagai pembalap masa depan AS. Seperti telah diungkapkan Rahal dan Andretti. Pemuda 21 tahun itu dianggap bisa sukses di F1 apabila mendapat dukungan tim yang tepat.

Adaptasinya mungkin akan mulus sebab pembalap Andretti Autosport itu pernah mengikuti seri di Eropa seperti MSA Formula Championship, Formula 3 Inggris, Euroformula Open dan Formula 3 Spanyol. Ia membela Carlin dan satu tim dengan Lando Norris, calon bintang F1.

Tetapi seperti yang telah disebutkan dana jadi problem utama pembalap AS berkarier di Eropa. Herta kembali ke negaranya setelah orang tuanya kehabisan biaya untuk mendukungnya tetap bisa berkompetisi di Benua Biru. Kini ia adalah masa depan IndyCar.

"Colton telah bersaing dengan para pembalap muda yang kini tampil bagus dalam F1. Dia pernah satu tim dengan Lando Norris dan mampu mengalahkannya. Jadi, dia punya bakat berbuat banyak jika dapat kesempatan," ujar Michael Andretti, pemilik Andretti Autosport.

"Yah, namun mereka (FIA) belum menunjukkan apapun untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar berusaha membantu pembalap Amerika. Menurut saya tim-tim F1 yang harus bergerak karena tidak akan mungkin pembalap sendiri akan sanggup mengeluarkan dana besar."

Colton Herta, Andretti Autosport Honda

Colton Herta, Andretti Autosport Honda

Foto oleh: Phillip Abbott / Motorsport Images

"Tetapi, kembali lagi, sangat kecil peluang mereka (tim-tim F1) bakal menengok kemari karena itu seperti mengambil risiko besar bagi mereka yang sudah punya mindset cuma pembalap Eropa yang bisa sukses di F1," Andretti menambahkan.

Beda Budaya

Salah satu rekan setim Herta saat ini, Alexander Rossi, merupakan pembalap terakhir AS yang memulai karier dalam ajang Grand Prix. Ia memenangi balapan GP3, Seri Formula Renault 3.5 dan GP2.

Rossi sempat menjadi test driver tim F1 Caterham hingga akhirnya mendapat kesempatan tampil dalam lima balapan jet darat bersama Manor Marussia pada musim 2015. Ia tampil cukup bagus ketika itu, empat kali mengungguli rekan setimnya yang lebih berpengalaman.

Namun, kecepatan mobilnya sangat jauh, bahkan di antara tim paling lambat. Sehingga performa Rossi tidak dapat ditempatkan dalam konteks yang lebih besar. Kini, pembalap 29 tahun itu menjadi bintang mapan dalam IndyCar, dengan tujuh kemenangan, termasuk Indy 500.

Rossi blak-blakan soal masalah pembalap Amerika di F1. "Saya tergganggu saat mendengar seseorang dari FIA atau pemilik tim F1 mengatakan 'tidak ada pembalap AS saat ini yang siap untuk masuk ke F1, namun kami berniat untuk mewujudkannya' Itu hanya basa-basi," ujarnya.

"Pada akhirnya untuk membawa pembalap AS ke Formula 1, dia harus pergi ke Eropa. Tidak ada kaitannya dengan kewarganegaraan Anda. Ada banyak permainan politik.

"Jika mereka serius ingin memiliki pembalap Amerika, maka perlu melakukan hal serupa dengan Red Bull. Mereka harus mencari pembalap muda yang sangat berbakat dan memiliki dana dan dukungan yang diperlukan untuk membawanya balapan di Eropa.

Alexander Rossi, Andretti Autosport Honda

Alexander Rossi, Andretti Autosport Honda

Foto oleh: Scott R LePage / Motorsport Images

"Anda harus memiliki dukungan pabrikan atau pemasaran dan saya pikir Red Bull melakukan pekerjaan yang sangat bagus untuk itu. FIA dan tim F1 memiliki kerangka kerja dengan program itu untuk mewujudkannya.

Bagi Rossi, untuk bisa memiliki pembalap AS yang kompetitif di F1, maka mengikuti kejuaraan junior di Eropa sangat penting. Sebab kultur dan budaya balap di negaranya dan Benua Biru sangat berbeda.

"Anda tidak bisa berharap sebagai seorang Amerika berusia 21 tahun bergabung dengan tim mana pun dan berharap bisa berkembang sama dengan pembalap yang sudah mapan atau familier dengan budaya balap di Eropa," tutur Rossi.

Ia menambahkan, banyak aspek yang perlu dipelajari, bukan hanya sekadar turun ke trek dan memacu mobil secepat mungkin. Salah satu faktor penting adalah mempelajari sirkuit. Itu butuh waktu dan pengalaman.

Adaptasi dengan mobil juga vital sebab teknologi F1 terus berkembang dan tak bisa dipelajari sehari dua hari. Karena itu, Rossi menekankan, sangat penting berkompetisi di Eropa sedini mungkin jika ingin mencapai Formula 1. Langkah ini dilakukan seluruh pembalap F1.

"Pembalap harus mengikuti kompetisi lebih awal, katakanlah di usia 13 atau 14 tahun. Dengan begitu, Anda punya waktu lima atau enam tahun untuk membuktikan diri di Formula Renault, F3, F2," Rossi mengatakan.

"Selalu ada budaya yang berbeda antara balapan Amerika dengan Eropa, sehingga waktu dan juga uang perlu diinvestasikan untuk membuat pembalap muda bisa berlomba di Eropa lebih awal.

"Tentu saya akan senang pembalap seperti Colton Herta mendapatkan kesempatan. Namun saya tak tahu apakah mereka (tim-tim F1) menganggap usia 21 tahun sudah terlalu tua atau tidak."

Colton Herta, Andretti Autosport Honda

Colton Herta, Andretti Autosport Honda

Foto oleh: Phillip Abbott / Motorsport Images

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Alonso Akui Salah Perhitungan soal F1 2021
Artikel berikutnya F1 vs IndyCar, Mana yang Paling Kencang?

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia