Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Special feature

12 Kecelakaan Fatal dalam Sejarah Formula 1

FIA terus meningkatkan standar keamanan Formula 1 untuk mencegah hal buruk terjadi. Itu dilakukan karena mereka terus belajar dari insiden yang merenggut nyawa para pembalap.

Romain Grosjean, Haas F1, emerges from flames after a horrific crash on the opening lap of the Bahrain Grand Prix, Marshals attend the accident

Foto oleh: Andy Hone / Motorsport Images

Romain Grosjean merupakan contoh nyata kerja keras FIA dalam meningkatkan level keamanan di Formula 1. Mengingat pembalap Haas itu hanya mengalami luka bakar di tangan usai mengalami insiden mengerikan pada GP Bahrain.

Sekadar informasi, Grosjean menabrak dinding pembatas dengan kecepatan 221 km/jam. Itu membuat mobilnya terbelah menjadi dua, dengan bagian belakang ada di sisi trek dan bagian kokpit menembus dinding pembatas hingga terbakar hebat.

Grosjean berhasil selamat  karena perangkat Halo menghindarinya dari hantaman langsung dengan dinding pembatas. Jika tidak dilengkapi dengan perangkat tersebut, bisa saja ia langsung meregang nyawa.

Apa yang dialami Grosjean bisa saja sebuah keberuntungan karena tak ada jaminan 100 persen ajang balap Formula bisa berjalan aman.

Namun, FIA selalu membahas keselamatan pembalap setiap tahunnya. Mengingat ajang balap jet darat ini telah banyak memakan korban jiwa.

Total, ada 52 pembalap yang telah tewas sejak F1 dimulai pada 1950 silam. Sejak saat itu juga teknologi terus dikembangkan guna meminimalkan insiden.

Motorsport merangkum 12 pembalap Formula 1 yang meregang nyawa akibat kecelakaan fatal di trek.

Ayrton Senna (GP San Marino, 1994)

Ayrton Senna, McLaren MP4-7A Honda

Ayrton Senna, McLaren MP4-7A Honda

Foto oleh: Motorsport Images

Kematian Ayrton Senna merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah di GP San Marino yang sesuai tradisi digelar di Sirkuit Imola.

Pasalnya, insiden yang berujung hilangnya nyawa pembalap merupakan kejadian kedua dalam event tersebut. Saat kualifikasi, rookie asal Autria Roland Ratzenberger tewas usai kecelakaan yang aneh.

Senna sendiri mengalami insiden mengerikan di balapan, yang mana pada saat itu ia kehilangan kendali pada tikungan Tamburello pada lap ketujuh. Ia menabrak dinding pembatas dengan kecepatan 233 km/jam.

Insiden tersebut membuat Senna mengalami pendarahan hebat pada kepalanya dan kehilangan 4,5 liter darah, itu hampir 90 persen darah dalam tubuh manusia.

Suspensi dan ban depan kanan yang menembus kokpit dinyatakan sebagai penyebab utama Senna kehilangan nyawa. Perangkat tersebut menembus helm pembalap asal Brasil  itu hingga menyebabkan luka besar di dahi.

Akibatnya, Senna mengalami kerusakan fatal pada tulang tengkorak, cedera otak dan arteri temporal pecah, itu merupakan pembuluh darah utama yang menyuplai wajah dan kulit kepala.

Roland Ratzenberger (GP San Marino, 1994)

Roland Ratzenberger diangkut ke dalam helikopter medis setelah kecelakaan fatal.

Roland Ratzenberger diangkut ke dalam helikopter medis setelah kecelakaan fatal.

Foto oleh: Rainer W. Schlegelmilch

Roland Ratzenberger meninggal sebelum insiden besar yang dialami Ayrton Senna di Sirkuit Imola, pada 1994.

Ratzenberger tewas saat di sesi kualifikasi GP San Marino. Pertanda telah terlihat ketika mobilnya kerap mengalami kerusakan dan ia berusaha untuk mengamankan posisi terakhir.

Nahas, tekanan angin yang disebabkan oleh kecepatan tinggi merobek sayap mobil. Perangkat tersebut terperangkap di bawah mobil, itu membuatnya gagal menikung dan ia menabrak dinding dengan kecepatan 314 km/jam.

Insiden itu membuatnya mengalami robekan di aorta dan patah tulang tengkorang basilar, yang mana masing-masing luka tersebut berakibat fatal.

Usai insiden, Ratzenberger langsung dilarikan ke Rumah Sakit Meggiore di Bologna dengan helikopter. Tapi, ia dinyatakan meninggal setelah tiba di sana. Dokter mengatakan patah tulang tengkorak basilar menjadi penyebab utama kematiannya.

Bruce McLaren (Uji coba mobil balap McLaren terbaru, 1970)

Bruce McLaren memang bukan pembalap populer dan tak pernah memenangkan gelar juara dunia Formula 1. Namun, ia merupakan pendiri Bruce McLaren Motor Racing Ltd pada 1963, sebauh tim yang eksis hingga saat ini dan dikenal sebagai tim balap McLaren.

Dalam 100 ajang balap yang sudah dilakoni oleh McLaren, ia berhasil meraih empat kemenangan dan berada di podium sebanyak 27 kali. Ia juga menempati posisi runner-up dalam klasemen F1 pada 1960.

Pada 1966, McLaren dan Chris Amon memenangkan 24 Hours Le Mans, dan pada 1969, McLaren menyapu bersih seri Can-Am, dengan meraih 11 kemenangan dari 11 balapan.

McLaren meninggal pada 1970 di usia ke-32 tahun, ketika mobilnya Can-Am mengalami insiden di Sirkuit Goodwood, Inggris, saat melakukan pengujian pada mobil terbarunya McLaren M8D.

McLaren Racing kemudian menganggap, tanpa peran pendirinya, tim yang kini berbasis di Woking, Inggris itu kemungkinan tidak akan berkembang seperti sekarang.

Mark Donohue (GP Austria, 1975)

Pembalap berjuluk ‘Kapten Nice’ Mark Donohue mungkin paling dikenal karena Can-Am Championship 1973. Ia memenangkan hampir semua balapan selama musim itu dan memperoleh julukan lain yakni “The Can-Am Killer”.

Selain berlaga di Formula 1 untuk Penske Racing, Donohue telah memenangkan Indianapolis 500 pada 1972, meraih kemenangan di Riverside di NASCAR.

Donohue juga juara dari seri IROC, yang mengadu dua pembalap terbesar di dunia untuk melihat siapa yang terbaik.

Donohue meninggal karena pendarahan setelah kecelakaan di Sirkuit Osterreichring, Austria, pada 1975. Saat itu kegagalan ban membuatnya meluncur ke dinding pembatas, di mana kepalanya menghantam papan reklame.

Seorang marshall juga tewas dalam insiden tersebut karena terhantam puing-puing dari kecelakaan hebat tersebut.

Wolfgang von Trips (GP Italia, 1961)

GP Italia 1961 menjadi balapan mengerikan paling bersejarah di Formula 1. Insiden mengerikan yang dialami Wolfgang von Trips bukan hanya menghilangkan nyawanya, tapi juga menewaskan 15 penonton.

Pada saat itu, perebutan gelar sedang terjadi antara Von Trips dan Phil Hill di Sirkuit Monza. Namun, itu hanya awal dari tragedi besar.

Ketika memasuki lap kedua, Von Trips yang mengendarai mobil Ferrari 156 F1 hilang kendali usai bersenggolan dengan Jim Clark. Pembalap Belanda itu meluncur bebas ke dinding pembatas dan mobilnya terlempar ke tribun penonton.

Gilles Villeneuve (GP Belgia, 1982)

Enzo Ferrari dan Gilles Villeneuve berbagi sebotol Lambrusco.

Enzo Ferrari dan Gilles Villeneuve berbagi sebotol Lambrusco.

Foto oleh: Actualfoto

Balapan dan sesi latihan menjadi yang paling banyak menelan korban jiwa di F1. Tapi, malang bagi Gilles Villeneuve yang kehilangan nyawanya pada akhir kualifikasi GP Belgia, 1982.

Pada saat itu, Villeneuve menekan mobilnya dengan keras dengan tujuan mengalahkan catatan waktu Didier Pironi. Sayang, ia menabrak bagian belakang mobil Jochen Mass dan itu membuat mobilnya terbang bebas sebelum mendarat keras ke tanah.

Villeneuve meninggal dunia karena mengalami patah leher fatal. Ia juga ditemukan tanpa helm karena perangkat keamanan kepalanya terlempar sejauh 50 meter dari lokasi kejadian.

Sebelum meninggal, ia berusaha untuk tetap hidup dengan alat bantu di sekujur tubuhnya, sedangkan istrinya melakukan perjalanan keliling dunia guna berkonsultasi dengan spesialis terkemuka.

Riccardo Paletti (GP Kanada, 1982)

Pada tahun yang sama, Ricardo Paletti menyusul Gilles Villeneuve, pada GP Kanada 1982. Ajang tersebut juga sebenarnya menjadi balapan kedua Paletti di F1.

Mengejutkannya, ia meninggal di Sirkuit Ile Notre-Dame Circuit, yang pada tahun itu berganti nama menjadi Sirkuit Gilles Villeneuve, untuk menghormati kepergian legenda Kanada tersebut.

Paletti diduga tak melihat sinyal yang diberikan oleh Didier Pironi yang sedang mengalami kerusakan pada mobilnya. Itu membuatnya menabrak bagian belakang mobil dalam kecepatan 180 km/jam.

Insiden tersebut membuat Paletti mengalami sejumlah cedera serius pada dada. Itu terjadi karena kekuatan benturan yang sangat keras.

Kondisi tubuh yang terjepit, membuat penyelamatan itu berlangsung selama 25 menit dengan risiko mobil yang bisa terbakar kapan pun.

Paletti pun langsung diterbangkan dengan helikopter medis ke Rumah sakit Royal Victoria. Namun, ia menghembuskan nafas terakhirnya sesaat setelah tiba di rumah sakit.

Jules Bianchi (GP Jepang, 2014-2015)

Jules Bianchi, Marussia MR03 Ferrari, menabrak bagian belakang mobil derek usai kehilangan kendali.

Jules Bianchi, Marussia MR03 Ferrari, menabrak bagian belakang mobil derek usai kehilangan kendali.

Foto oleh: Andrew Hone / Motorsport Images

Kematian Jules Bianchi masih menjadi luka mendalam bagi beberapa pembalap F1, terutama Charles Leclerc yang merupakan teman dekatnya.

Kematian Bianchi disebabkan oleh kecelakaan aneh karena dirinya menabrak truk derek yang sedang mengangkut mobil Adrian Sutil, dengan kecepatan 213 km/jam.

Setelah kecelakaan itu, Bianchi mengalami koma karena benturan keras pada kepalanya akibat menabrak bagian belakang truk derek.

Setelah sembilan bulan menjalani perawatan, Bianchi meninggal di Centre Hospitalier Universitaire, Nice, Prancis, dalam usia 25 tahun.

Ronnie Peterson (GP Italia, 1978)

Ronnie Peterson, Lotus 72E

Ronnie Peterson, Lotus 72E

Foto oleh: David Phipps

Insiden yang dialami Ronnie Peterson diawali dengan rusaknya mobil Lotus 79 pada sesi awal latihan bebas. Team Lotus yang tak memiliki komponen cadangan memaksanya menggunakan model lama, Lotus 78.

Pada saat itu, standing start masih diberlakukan dan kondisi trek yang kurang baik membuatnya mengalami start yang buruk. Ia ditabrak oleh James Hunt yang melaju cepat di belakangnya dan itu membuatnya menabrak dinding pembatas.

Kecelakaan itu membuat mobilnya terbakar, beruntung Hunt, Clay Reggazzoni dan Patrick Depailler menghentikan mobil untuk menyelamatkan Peterson dari kobaran api.

Tetapi, Peterson mengalami cedera kaki yang cukup parah dan Hunt mengatakan dirinya menyuruh Peterson untuk tak melihat kakinya demi mengurangi rasa sakit.

Peterson mengalami total 27 patah tulang di kaki dan jari kakinya. Pada malam setelah kejadian kondisinya memburuk usai dirawat dengan Fat Embolism. Pada pagi hari, ia dinyatakan meninggal dunia.

Tom Pryce (GP Afrika Selatan, 1977)

Mobil Tom Pryce yang tergeletak di dinding pembatas tikungan Crowthorne usai insiden fatal

Mobil Tom Pryce yang tergeletak di dinding pembatas tikungan Crowthorne usai insiden fatal

Foto oleh: Sutton Images

Kisah antara marshall dan Romain Grosjean memang indah karena keduanya selamat dari insiden yang bisa saja menewaskan keduanya. Namun, hal tersebut tak dialami oleh Tom Pryce dan marshall yang bertugas di GP Afrika Selatan 1977, Frederik Jansen van Vuuren.

Pada saat itu, mobil rekan setim Pryce mengalami masalah mesin terbakar sehingga harus membuatnya menepi. Dua petugas yang berada didekatnya langsung memadamkan api, tapi berdasarkan prosedur keamanan harus ada dua marshall tambahan untuk berjaga jika petugas pertama tidak cukup efektif.

Sayang, mereka berada di sisi sirkuit setelah tikungan yang tidak terlihat oleh pembalap yang akan melintas. Van Vuuren yang membawa tabung pemadam tidak dapat menyusul rekannya, William Bill, yang lebih dulu sampai di sisi sebrang.

Pada saat yang sama, Pryce datang dengan kecepatan tinggi dan langsung menghantam tubuh Van Vuuren. Seorang marshall berusia 19 tahun itu tertabrak pada kecepatan lebih dari 25 km/jam dan membuatnya terlempar ke udara.

Namun, nasib malang tidak hanya menimpa Van Vuuren. Tabung pemadang yang dibawanya ikut terlempar dan menghantam kepala Pryce. Benturan keras itu merusak helm Pryce dan ia tercekik tali helmnya, dan seketika merenggut nyawanya.

Kengerian belum berakhir, mobil Tom Pryce terus melaju dengan kecepatan tinggi dan baru berhenti setelah menabrak pembalap lain dan dinding pembatas di tikungan pertama.

Mario Alborghetti (GP Pau, 1955)

Grand Prix Pau yang mengadoposi jalan raya di Prancis sebagai sirkuit menjadikannya sebagai trek yang sulit ditaklukkan. Mario Alborghetti yang baru turun di Formula 1, tak memiliki banyak pengalaman dalam membaca situasi.

Ia kehilangan kecepatan dan berjuang keras untuk mengimbangi kecepatan para rivalnya yang sudah berpengalaman. Hingga sampai pada tikungan hairpin, Alborghetti ingin memanfaatkannya untuk mengambil alih posisi.

Namun, ia masuk terlalu cepat dan tak sempat mengerem. Itu membuatnya langsung menabrak tumpukan jerami yang dijadikan sebagai dinding pembatas trek. Namun, ia mengalami cedera fatal pada dada dan kepada.

Peter Collins (GP Jerman, 1958)

Peter Collins, Ferrari D50

Peter Collins, Ferrari D50

Foto oleh: Motorsport Images

Grand Prix Jerman terkenal menjadi yang paling buruk dalam sejarah F1 karena menggunakan Sirkuit Nurburgring yang populer dengan rekam jejaknya yang tragis.

Mungkin semua sudah tahu berbahayanya Sirkuit Nurburgring melalui fim Rush, ketika Nuki Lauda mengalami insiden besar yang menyebabkan mobilnya terbakar. Itu juga yang membuatnya kehilangan gelar pada 1976.

Jauh ke belakang, Peter Collins merasakan ganasnya Sirkuit Nurburgring. Memiliki start yang baik, membuat Collins merasa nyaman melahap trek berjarak lebih dari 7 kilometer itu.

Terlibat pertarungan sengit dengan Tony Brooks, Collins gagal mengendalikan mobilnya. Itu membuatnya keluar trek dan terbang ke udara sebelum mendarak dengan keadaan mobil terbalik.

Collins mengalami cedera serius di kepala usai menabrak pohon dan berjuang keras untuk tetap hidup. Setelah menjalani perawatan instensif di sebuah rumah sakit, di Bonn, Jerman.

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Formula 1 2021: Formasi Pembalap Masih Banyak Pertanyaan
Artikel berikutnya Cuma 40 Persen Komponen Baru pada Mobil Red Bull 2021

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia