Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Special feature

12 Ayah-Anak Berkiprah di F1, Hill Paling Sukses

Buah tak jauh dari pohonnya. Mungkin pepatah ini dapat menggambarkan deretan ayah dan anak yang berkiprah di lintasan Formula 1.

Max Verstappen, Red Bull Racing, dan ayah Jos Verstappen

Max Verstappen, Red Bull Racing, dan ayah Jos Verstappen

Mark Sutton / Motorsport Images

Koneksi yang dibangun sang ayah bisa membuka jalan bagi putranya menapaki karier yang sama.

Namun, di sisi lain, perbandingan pun tak bisa dielakkan. Hal itu bisa jadi pisau bermata dua. Beban membawa nama besar orang tua dan ekspektasi publik yang berlebihan dapat menghambat jalan para pembalap muda.

Akan jadi positif kalau mereka mampu mengolah tekanan menjadikan motivasi untuk meraih prestasi lebih mentereng.

Sangat sedikit kasus anak yang mampu menyamai bahkan melampaui pencapaian ayahnya, salah satunya adalah Jacques Villeneuve, putra Gilles.

Graham Hill dan Damon Hill mungkin bisa jadi anutan yang patut ditiru. Ayah dan anak tersebut menghasilkan tiga titel juara dunia F1.

Musim 2020, ada Max Verstappen yang menjadi sorotan karena statusnya sebagai putra Jos Verstappen serta Kevin Magnussen anak Jan Magnussen. Di F1 2021, Mick Schumacher akan menyedot atensi pecinta balap jet darat karena membawa nama sang legenda, Michael Schumacher.

Berikut deretan pembalap ayah dan anak yang sama-sama melaju dengan mobil Formula 1.

1. Mario dan Michael Andretti

Mario Andretti merupakan pembalap keturunan Italia yang lumayan sukses.
Ia merebut mahkota juara musim 1978. Pria Amerika Serikat itu memenangi 12 balapan, naik podium 19 kali dan pole positions 18 kali.

Michael Andretti mencoba mengadu peruntungan di F1 1993 yang sepertinya tak cocok untuknya. Berada di bawah bayang-bayang Ayrton Senna di McLaren dan tak mampu menaklukkan MP4/8, ia hengkang menyisakan tiga balapan. Kendati demikian, Michael pernah naik podium ketiga di Monza.

2. Jack, Gary dan David Brabham

Ini merupakan contoh lain anak yang tak sesukses ayahnya. Jack yang aktif di Formula 1 pada 1955-1970, dinobatkan jadi juara dunia edisi 1959, 1960 dan 1966. Ia menang 14 kali dan podium 31 kali.

Dua dekade kemudian, Gary mencoba mengikuti jejak sang ayah. Tapi, perjuangannya tamat dalam dua balapan saja, GP Amerika Serikat dan GP Brasil.

David terjun dua kali pada 1990 dan 1994. Ia lebih mendapat kepercayaan dan bisa melaju dalam 30 balapan meski pulang dengan tangan hampa.

Baca Juga:

3. Emerson dan Christian Fittipaldi

Emerson merajai Formula 1 dua musim, 1972 (Lotus) dan 1974 (McLaren). Pembalap Brasil itu memborong 281 poin dan 35 podium.

Kisah manis sang ayah menginspirasi Christian, yang terjun ke kancah tersebut 20 tahun kemudian. Memperkuat Minardi dan Footwork salama 1992-1994, ia hanya mendapat poin kurang dari 5 persen koleksi ayahnya.

4. Graham dan Damon Hill

Graham Hill merupakan satu-satunya pembalap yang pernah menyapu triple crown sepanjang sejarah. Ia mendominasi Formula 1, Indy 500 dan Le Mans 24 Hours. Legenda balap asal Inggris itu jadi penguasa F1 1962 dan 1968, dengan 36 kali podium.

Jejak rekam diikuti Damon yang tumbuh tanpa arahan Graham yang tewas karena kecelakaan pesawat. Ia mencicipi F1 mulai 1992 dan mencatatkan sejarah empat tahun berselang sebagai putra juara dunia yang menggondol trofinya sendiri. Rapor kemenangannya pun mengesankan 22 banding 14 milik sang ayah.

Damon Hill, Sky TV

Damon Hill, Sky TV

Foto oleh: Steven Tee / Motorsport Images

5. Satoru dan Kazuki Nakajima

Satoru Nakajima merupakan pembalap Jepang pertama yang meluncur di F1 selama satu bulan penuh. Mulai 1987 dengan Lotus, ia menutup kiprahnya dengan Tyrell lima tahun kemudian. Ia hanya punya 16 poin.

Kazuki direkrut Williams sebagai bagian kesepakatan untuk menggunakan mesin Toyota. Dalam 2007-2009, ia cuma mengumpulkan sembilan poin.

6. Jonathan dan Jolyon Palmer

Ini adalah contoh kegagalan di F1 yang dialami ayah-anak. Karier Jonathan dan Jolyon Palmer suram di era berbeda.

Jonathan membalap pada 1983-1989, di mana peringkat terbaiknya pada peringkat keempat GP Australia 1987. Eks pilot Williams itu hanya mendapat 14 poin selama enam tahun. Hasil tak kalah mengecewakan ditorehkan Jolyon. Renault mendepaknya ketika balapan musim 2017 tersisa empat lagi karena cuma memberi 9 poin.

7. Manfred dan Markus Winkelhock

Manfred Wilkenhock sempat terjun ke F1 sebelum nyawanya terenggut di lintasan Mosport Park, Bowmanville, Kanada, saat mengikuti Budweiser 1000 km World Endurance Championship  1985.

Ia turun di kelas premium pada 1980 dan 1982-1985. Manfred membalap 47 kali tapi hanya mendulang dua poin.

Karier Markus di F1 tamat sangat cepat di kompetisi itu. Baru tampil satu kali pada 2007 untuk Spyker, kemudian digantikan oleh Sakon Yamamoto.

Walau begitu, ia memegang rekor sebagai pembalap yang start di posisi akhir sekaligus terdepan dalam grand prix yang sama, tepatnya GP Eropa.

8. Gilles dan Jacques Villeneuve

Seandainya tidak tewas akibat kecelakaan fatal saat kualifikasi GP Belgia 1982, Gilles mungkin bisa merengkuh titel juara dunia perdananya. Saat masih aktif sejak 1977, pembalap McLaren dan Ferrari itu mengoleksi 6 kemenangan, 13 podium, serta runner-up musim 1979.

Seolah ingin meneruskan pekerjaan sang ayah yang tak sempat diselesaikan, Jacquez mengangkat trofi bergengsi pada 1997 setelah insiden kontroversial dengan Michael Schumacher. Ia mendominasi dalam 11 balapan dan naik podium 23 kali.

Podium: Runner-up Damon Hill,  Williams, pemenang Jacques Villeneuve, dan posisi ketiga Michael Schumacher, Ferrari

Podium: Runner-up Damon Hill, Williams, pemenang Jacques Villeneuve, dan posisi ketiga Michael Schumacher, Ferrari

Foto oleh: Sutton Images

9. Nelson dan Nelson Piquet Jr

Terlepas dari tingkah lakunya yang menyebalkan bagi pembalap lain, Nelson Piquet punya taji di Formula 1. Ia membuat warga Brasil bangga setelah menyabet titel juara dunia 1981, 1983 dan 1987. Sepanjang 1978-1991, ia menang 23 kali dan podium 60 kali.

Sayangnya, jejak cemerlang itu tak bisa diikuti putranya. Nelson Piquet Jr berdebut dengan Renault pada 2008 dan tersangkut skandal crashgate yang dianggap menguntungkan rekannya Fernando Alonso. Baru menang 1 kali dan mendapat 19 poin, ia mengakhiri kariernya setahun kemudian dengan reputasi tercoreng.

Nelson Piquet, Nelson Piquet Jr.

Nelson Piquet, Nelson Piquet Jr.

Foto oleh: Jose Mario Dias

10. Keke dan Nico Rosberg

Ayah dan anak beda kewarganegaraan ini mampu mengawinkan gelar juara dunia F1. Sesuatu yang langka di lomba jet darat.

Keke mulai balapan perdana dengan ATS Racing pada 1978 dan mengunci gelar empat tahun kemudian untuk Williams. Pilot Finlandia itu mendapat keuntungan dari meninggalnya saingan utama Gilles Villeneuve.

Sementara itu, Nico mengukir namanya sebagai juara dunia, satu dekade setelah debut dengan Williams pada 2006. Pembalap Jerman tersebut segera memutuskan pensiun usai misi juara dunia tuntas.

 Patrick Head, Nico Rosberg, Keke Rosberg

Patrick Head, Nico Rosberg, Keke Rosberg

Foto oleh: Joe Portlock / Motorsport Images

11. Jan dan Kevin Magnussen

Jan Magnussen merupakan satu dari segelintir pilot F1 dari Denmark. Ia sempat digadang-gadang jadi pembalap muda berbakat setelah Ayrton Senna. Sayangnya, dari petualangan 1995 dan 1997-1998, ia hanya memetik satu poin.

Nasib Kevin jauh lebih baik di mana pernah naik podium sekali saat debut di GP Australia 2014. Total selama tujuh tahun, ia meraup 158 poin. Ini adalah musim terakhirnya di F1 usai Haas menyudahi kontrak mereka.

12. Jos dan Max Verstappen

Max Verstappen berhasil menata jalannya sendiri. Pembalap muda Red Bull itu mampu melewati torehan sang ayah, Jos.

Memang ia belum pernah menaklukkan gelar prestisius, namun Max stabil duduk di peringkat ketiga dua musim terakhir. Pilot 23 tahun itu meraup 1.162 poin, 10 kemenangan dan 42 podium.

Sebaliknya Jos konsisten di papan bawah, di mana pencapaian terbaiknya peringkat ke-10 di tahun perdananya dengan Benetton pada 1994. Kala itu, ia bisa podium dua kali. Namun, hanya 17 poin yang dihasilkan sepanjang karier.

Max Verstappen, Red Bull Racing, dan ayah Jos Verstappen

Max Verstappen, Red Bull Racing, dan ayah Jos Verstappen

Foto oleh: Mark Sutton / Motorsport Images

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Budkowski Yakin Comeback Alonso di F1 2021 Rumit
Artikel berikutnya Wolff Komitmen Seumur Hidup dengan Tim Mercedes F1

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia