Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Special feature

De Vries, Drugovich, dan Herta Menguji ‘Meritokrasi’ di F1

Nyck de Vries, Felipe Drugovich, dan Colton Herta, menjadi pembalap muda potensial yang siap meramaikan perebutan posisi pembalap untuk Kejuaraan Dunia Formula 1 2023.

Nyck de Vries, Williams FW44

Foto oleh: Williams

Sepanjang tujuh dekade sejarahnya, Formula 1 mengklaim diri sebagai sebuah “meritokrasi”, satu sistem sosial yang memengaruhi kemajuan dalam masyarakat (konteks di sini adalah balap Formula 1) berdasarkan kemampuan dan prestasi individu, daripada basis keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial.

Ajang balap mobil paling bergengsi di dunia itu sering disebut hanya bisa diikuti oleh para pembalap terbaik di kolong jagat, yang terseleksi ketat melalui balapan berjenjang.

Faktanya, saat ini tidak sedikit pembalap F1 yang masuk bukan dari “jalur pretasi” melainkan karena dukungan kekuatan finansial dari keluarga mereka.

Jadi, ketika para prinsipal tim, staf teknis, dan staf marketing bersikeras pada kebenaran “meritokrasi” di F1, mereka harus dihadapkan pada realitas dan fakta bahwa tidak semua 20 posisi pembalap di tim saat ini diisi oleh mereka yang lebih pantas mendapatkannya.

Nama-nama seperti Max Verstappen, Lewis Hamilton, dan Charles Leclerc, memang pantas berada di F1 karena selain cepat, mereka juga menunjukkan prestasi gemilang di level junior. Namun, tetap saja ada sejumlah pembalap yang bisa turun di F1 bukan karena bakat dan kemampuan mereka.

Baca Juga:

Nikita Mazepin (Haas pada 2021), Lance Stroll (Aston Martin), dan Nicholas Latifi (Williams) menjadi contoh betapa dukungan finansial dari keluarga berperan lebih besar daripada kemampuan dan jenjang karier mereka di level junior.

Meskipun, di sisi lain tim-tim yang mereka bela memang juga membutuhkan anggaran untuk menghidupi tim. Faktor (kekurangan anggaran) ini pula yang menjadi semacam legitimasi bagi tim-tim F1 untuk perlahan melupakan “meritokrasi” di F1.  

Keputusan Sebastian Vettel yang akan mundur pada akhir musim 2022, serta keputusan McLaren memutus kontrak Daniel Ricciardo untuk mendapatkan Oscar Piastri dari Alpine sebagai penggantinya, terbukti menggoyang grid F1 2023.

Saat ini ada 10 tim di F1 yang berarti hanya 20 pembalap reguler yang dibutuhkan. Artinya, sejumlah pembalap bagus bakal kehilangan pekerjaan karena terbatasnya posisi yang tersedia.

Kini, tiga pembalap muda, yakni Nyck de Vries, Felipe Drugovich, dan Colton Herta, akan menguji kekokohan klaim meritokrasi F1 dengan cara yang sangat berbeda.

Nyck de Vries

Jika kursi F1 diberikan berdasarkan prestasi dan pengalaman balap, Nyck de Vries seharusnya sudah menjadi pembalap full-time di ajang balap jet darat.

Pembalap asal Belanda tersebut merupakan juara FIA Formula 2 2019, seri yang hanya satu tingkat di bawah F1 dan hanya dilombakan di sirkuit-sirkuit tertentu namun selalu berbarengan dengan F1.

Meskipun dikabarkan sempat mendekat ke McLaren, De Vries akhirnya memilih turun di Formula E dan menjadi kampiun 2020-2021 bersama Mercedes, pabrikan yang juga tempatnya bernaung sebagai test driver di skuad F1 pabrikan asal Jerman itu.

Nyck de Vries, Williams, mampu menggebrak dengan hasil finis P2 pada GP Italia 2022 pada debutnya di F1.

Nyck de Vries, Williams, mampu menggebrak dengan hasil finis P2 pada GP Italia 2022 pada debutnya di F1.

Foto oleh: Williams

Musim ini, De Vries sudah menjalani beberapa sesi latihan bebas pertama (FP1) masing-masing bersama Mercedes, Williams, dan Aston Martin. Minggu (11/9/2022) lalu, De Vries akhirnya berhasil melakukan debut lomba F1 pada GP Italia, dalam kondisi cukup aneh.

Setelah melibas FP1 di atas menggeber Aston Martin AMR22 pada Jumat, De Vries lalu diminta Williams Racing menggantikan Alex Albon yang tiba-tiba mengalami sakit usus buntu.

Start dari grid kedelapan, De Vries pulang dengan dua poin setelah finis P9 GP Italia di Sirkuit Monza. Torehan tersebut menyamai hasil terbaik Williams sejauh musim ini berjalan.

De Vries dinilai sanbat cocok menggantikan Latifi yang hingga kini tidak berkembang. Latifi menjadi satu-satunya pembalap reguler F1 musim ini sampai 16 balapan yang sudah digelar.

Karena Albon sudah diikat sampai 2023 dan selanjutnya, Williams sepertinya akan langsung memilih antara Latifi dan De Vries untuk sasis kedua. Jika keputusan didasarkan pada torehan dibanding finansial, Nyck de Vries seharusnya cepat direkrut.

Felipe Drugovich

Jika masih mengacu meritokrasi, mereka yang terbaik di balap formula level kedua seharusnya memiliki kesempatan dan peluang lebih besar ke F1. Sayang, realitasnya tidak selalu seperti itu.

Sabtu (10/9/2022) lalu, pembalap asal Brasil berusia 22 tahun, Felipe Drugovich, menjadi kampiun Formula 2. Ia mengalahkan pembalap Sauber junior Theo Pourchaire setelah mendominasi musim ini.

Kini, persaingan di F2 belum tentu dimenangi yang terkuat. Drugovich sendiri butuh tiga musim untuk menang melawan para pesaingnya. Terlebih lagi, usia 22 tahun bukanlah usia yang terlalu muda bagi seorang pembalap modern untuk memulai di F1. Verstappen, bagaimanapun, baru berusia 24 tahun dan berada di ambang mengamankan kejuaraan kedua berturut-turut di musim F1 kedelapan.

Felipe Drugovich, MP Motorsport, sudah merebut lima kemenangan dalam merintis gelar FIA Formula 2 2022, saat seri menyisakan satu putaran (dua race).

Felipe Drugovich, MP Motorsport, sudah merebut lima kemenangan dalam merintis gelar FIA Formula 2 2022, saat seri menyisakan satu putaran (dua race).

Foto oleh: Dutch Photo Agency

Tetapi, fakta bahwa Drugovich tidak kerap dibicarakan untuk mengisi salah satu posisi yang berpotensi terbuka di Alpine, AlphaTauri, Haas atau Williams, membuktikan bahwa sistem perkembangan tidak benar-benar berfungsi. Drugovich sendiri akhirnya hanya dipercaya menjadi reserve driver Aston Martin mulai musim depan.

Tidak setiap juara F2 otomatis mendapatkan posisi di F1 pada musim berikutnya. Namun setidaknya harus ada jalur yang jelas ke F1 untuk mereka. Untuk Drugovich, tampaknya saat ini tidak mungkin (ke F1).

Colton Herta

Ketika Alpine mengetuk pintu AlphaTauri untuk bertanya soal apakah Pierre Gasly bisa menggantikan Fernando Alonso yang keluar, Red Bull selaku tim induk menjadi memiliki ide untuk menandatangkan bintang IndyCar, Colton Herta, sebagai pengganti.

Herta adalah pemenang tujuh balapan di Indy, level tertinggi dari balap single-seater di Amerika Utara. Ia dinilai sangat tinggi oleh para ahli di seluruh olahraga. Herta sudah ikut tes bersama McLaren awal tahun ini dan membuat Prinsipal Tim McLaren Andreas Seidl terkesan.

Namun, Herta menarik bukan hanya karena bakatnya tetapi juga kebangsaannya, Amerika Serikat (AS). F1 berkembang pesat di AS dalam setahun terakhir dan akan menjadi tuan rumah tiga Grand Prix musim depan. Namun, AS tidak memiliki pembalap F1 saat ini.

Pun begitu, kendala signifikan sudah siap menghalangi jalan Herta. Sejak peningkatan karier cepat Verstappen ke F1, FIA menetapkan sistem poin superlicense.

Itu berarti, setiap calon pembalap F1 harus mengumpulkan poin dan kemenangan yang cukup di kategori balap lain agar memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi balap. Ibarat berdiri, Herta saat ini masih pendek jika melihat total poin superlicense.

Colton Herta, Andretti Autosport Honda, menyelesaikan IndyCar 2022 di posisi kesembilan dengan sekali kemenangan.

Colton Herta, Andretti Autosport Honda, menyelesaikan IndyCar 2022 di posisi kesembilan dengan sekali kemenangan.

Foto oleh: IndyCar Series

Red Bull telah menjajaki kemungkinan mengajukan pengecualian untuk Herta. Di sisi lain, sejumlah mantan pembalap, pakar dan penggemar, telah menyarankan sistem poin harus memberi bobot lebih pada hasil yang mengesankan di IndyCar, di mana 20 pembalap berpotensi mampu menang pada akhir pekan tertentu.

FIA kini harus membuat keputusan yang akan memberi tahu banyak kepada publik tentang status meritokrasi F1. Akankah itu tunduk pada keinginan publik sehingga F1 dapat menuai hasil dari aset baru yang dapat dipasarkan, dan berharap seorang pembalap yang sebagian besar belum teruji di Eropa dapat beradaptasi untuk membenarkan keputusan mereka dari sisi olahraga?

Atau, akankah mereka berpegang teguh pada buku aturannya sendiri, menghukum seorang superstar potensial dan menarik jembatan menuju bakat yang tidak berkembang di Eropa?

Nasib Nyck de Vries, Felipe Drugovich, dan Colton Herta mungkin akan diputuskan dalam beberapa minggu mendatang, bahkan bisa jadi sebelum GP Singapura pada awal Oktober.

Hasil individu dan kolektif akan memberi tahu publik banyak tentang bagaimana F1 mengukur dirinya sendiri, dan bagaimana ajang balap jet darat itu ingin didefinisikan di masa depan.

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Pembalap Formula E Prihatin dengan Lewis Hamilton
Artikel berikutnya Berani lawan Arus, Kunci Kemenangan Red Bull di F1 GP Italia

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia