Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Edisi

Indonesia Indonesia
Special feature

Evolusi Pit Stop Menjadi Sebuah Seni di Formula 1

Pit stop di Formula 1 merupakan gambaran kombinasi antara kecanggihan teknologi dan performa manusia. Pit stop kini sudah seperti seni di F1.

Sergio Perez, Red Bull Racing RB16B, makes a pit stop

Perlu berapa lama Anda untuk memahami judul artikel di atas? Mungkin hanya beberapa detik. Tetapi, Anda pasti butuh beberapa detik lebih lama dari rekor pit stop yang dilakukan Tim Red Bull Racing Honda musim ini.

Kru Red Bull hanya butuh 1,88 detik untuk mengganti keempat ban mobil Red Bull RB16B milik Max Verstappen pada GP Hungaria, 1 Agustus lalu. Catatan tersebut masih menjadi pit stop tercepat hingga seri ke-16 Kejuaraan Dunia Formula 1 2021.

Cepatnya perkembangan teknologi dan kemampuan kru yang luar biasa membuat waktu pit stop di Formula 1 kini semakin “tidak masuk akal”.

Dan, Red Bull masih yang terbaik untuk urusan mengganti ban ini setelah menempatkan sembilan pit stop mereka dalam 10 besar daftar pit stop tercepat hingga GP Turki, akhir pekan lalu.

FIA pun merasa perlu untuk mengeluarkan arahan lebih lanjut soal apa yang dinilai sebagai praktik yang masih dapat diterima, menerangkan seberapa banyak otomatisasi yang bisa dilakukan, dan menekankan bila intervensi manusia jauh lebih penting untuk memastikan keselamatan lebih diprioritaskan daripada mengejar kecepatan.

Pertanyaannya, bagaimana mengatur keseimbangan antara teknologi dan performa manusia dalam membuat pit stop yang tidak hanya sangat cepat tetapi juga menjamin keselamatan balap?

Di ajang balap seperti Formula 1, pit stop memegang peran sangat vital sebagai bagian dari strategi. Pada awal-awal F1 digelar, kru tim butuh sekira 30 detik lebih untuk sekali pit stop.

Tim-tim baru mulai serius mengatur manajemen pit stop di awal era 1980-an, tepatnya ketika Tim Brabham memperkenalkan pengisian bahan bakar (refuelling). Sejak saat itu, pit stop menjadi bagian sangat penting dari strategi tim dalam balapan F1. 

Riccardo Patrese, Brabham BT50-BMW,  melakukan pit stop di lomba F1 GP Austria 1982 di Sirkuit Spielberg (kini Red Bull Ring).

Riccardo Patrese, Brabham BT50-BMW, melakukan pit stop di lomba F1 GP Austria 1982 di Sirkuit Spielberg (kini Red Bull Ring).

Foto oleh: Motorsport Images

Ketika refuelling diperkenalkan kembali pada 1994, pembatasan volume aliran bahan bakar membuat pergantian ban masih dianggap santai. Tetapi ketiga refuelling kembali dilarang mulai 2010, kesigapan dan kegesitan kru dalam mengganti ban, menonjol lagi.

Sejak saat itu, evolusi pit stop dimulai. Dari sekadar mengganti ban dengan peralatan biasa menjadi sebuah seni karena dengan lompatan teknologi yang begitu cepat sehingga waktu pergantian ban hampir di luar akal karena kecepatannya.

Ditemukannya wheel gun – alat pembuka pengunci ban (wheel nut) dan axle – hingga pengangkat bodi bagian depan-belakang mobil yang dioperasikan manusia (jack) menjadi bentuk kemajuan teknologi di pit stop.

Dari sisi manusia, kesigapan kru dan kemampuan pembalap berperan besar. Akurasi performa yang aman dari pembalap saat masuk pit, sampai presisi pengereman di spot ban seluas hanya 10 cm, reaksi cepat untuk go dan keluar paddock, semua harus di dalam hitungan sepersekian detik. 

Baca Juga:

Wheel gun menjadi salah satu inovasi revolusioner yang pertama menarik perhatian. Alat ini didesain untuk membuka wheel nut yang digerakan oleh udara bertekanan sangat tinggi.

Belakangan diketahui bahwa wheel gun didesain akan lebih efektif bila menggunakan aliran gas, lebih kurang serupa dengan kerja kepala silinder. Sebelum diatur bahwa hanya udara atau nitrogen yang dapat digunakan untuk menggerakkan wheel gun, gas lain dengan viskositas rendah dipakai karena mampu mempercepat kinerja wheel gun.

Wheel gun juga didesain sedemikian rupa, bobot diperingan, dan pegangannya dibuat khusus untuk setiap mekanik sehingga bisa mendapatkan ergonomis terbaik.

Lewis Hamilton, Mercedes W12 siap melakukan pit stop di F1 GP Azerbaijan. Tampak seorang mekanik (kiri) siap bekerja dengan quick-release jack.

Lewis Hamilton, Mercedes W12 siap melakukan pit stop di F1 GP Azerbaijan. Tampak seorang mekanik (kiri) siap bekerja dengan quick-release jack.

Foto oleh: Steve Etherington / Motorsport Images

Sorotan berikutnya adalah dongkrak quick-lift sederhana yang diganti dengan yang diganti dengan quick-release jack yang bisa menurunkan mobil dengan satu sentuhan tombol untuk menghemat waktu.

Onboard jack alias dongkrak menyatu yang digerakan secara hidrolis seperti pada mobil-mobil sport, juga pernah dilirik. Tetapi, performanya masih jauh di bawah jack eksternal yang dioperasikan dengan baik.

Area pit juga diperbaiki dengan memberi tanda berupa batas mobil berhenti dengan cat di area stop. Sejumlah kamera juga dipasang ke semua angle area pit stop sehingga rekaman video bisa untuk evaluasi atau menentukan seberapa akurat pembalap berhenti di area yang sudah ditandai.

Jika pembalap berhenti tidak tepat di area yang sudah ditandai, gunman (mekanik yang mengoperasikan wheel gun) bakal berpotensi melakukan kesalahan saat mengendurkan wheel nut. Itu bisa berakibat fatal dari kehilangan waktu hingga yang terparah merusak wheel nut karena posisi yang tidak pas.

Pengikat ban (wheel nut) Mercedes milik Valtteri Bottas yang sempat bermasalah di GP Monako. Tampak foto kiri sebelum masalah dan bentuknya setelah mengalami kemacetan.

Pengikat ban (wheel nut) Mercedes milik Valtteri Bottas yang sempat bermasalah di GP Monako. Tampak foto kiri sebelum masalah dan bentuknya setelah mengalami kemacetan.

Foto oleh: Uncredited

Ban, wheel nut, dan poros roda (axle) banyak berevolusi dalam peningatan kecepatan pit stop di F1. Awalnya, ban digerakan oleh pasak penggerak pada axle yang terkait dengan lubang memanjang pada ban.

Belakangan diketahui ternyata lebih cepat mengunci ban ke axle menggunakan penggerak bergerigi, yang lebih mudah digunakan karena tidak terlalu bergantung pada pengindeksan roda dan axle yang tepat.

Ulir gandar juga banyak berubah. Dari yang relatif halus menjadi ulir dengan jarak lebih dari 1 mm untuk menjepit dengan jumlah putaran minimum.

Material wheel nut juga dipelajari detail mengingat banyak faktor yang akan memengaruhinya. Terlalu halus dan jika tidak persegi bisa terbelah oleh poros. Jika terlalu rapuh dapat rusak oleh wheel gun.

Wheel nut juga mampu menahan suhu yang sangat tinggi. Kini, penggunaan titanium sebagai bahan untuk axle dengan wheel nut dari aluminium menjadi pilihan utama.

Seorang mekanik Mercedes siap dengan wheel gun-nya.

Seorang mekanik Mercedes siap dengan wheel gun-nya.

Foto oleh: Giorgio Piola

Salah satu lompatan terbesar dalam proses pit stop adalah penggunakan elektronik untuk menghubungkan peningkatan kinerja mekanis. Inilah yang mengkhawatirkan bagi FIA.

Sebuah komputer dipakai untuk memonitor sensor pada semua perangkat. Ia tahu kapan mobil dalam posisi terangkat, kapan roda dilepas, dan kapan wheel nut dikencangkan kembali.

Pada suatu waktu, komputer ini akan melepaskan jack dan mengubah lampu pit stop dari merah menjadi hijau berdasarkan sinyal dari keempat wheel gun.

Dengan pedoman terbaru dari FIA, sinyal manual dari operator wheel gun harus diberikan sebelum jack mulai dioperasikan. Sinyal ini harus didasarkan pada indikasi fisik dan penilaian fisik dari gunman.

Saat Pat Symonds menjadi Chief Technical Officer Williams F1 Team pada Juli 2013 sampai Desember 2016 (sejak Maret 2017 menjabat Chief Technical Officer Formula 1), skuad yang bermarkas di Grove, Inggris, itu salah satu yang terbaik dalam pit stop di F1.

Hal tersebut bukan tanpa alasan. Saat itu mereka memiliki fasilitas pit stop otomatis di Grove yang sepenuhnya diinstrumentasi untuk melatih mekanik.

Seluruh proses diawasi oleh ilmuwan olahraga/osteopath untuk mengekstrak kinerja maksimum dari mekanik top mereka.

Setiap akhir balapan, ada laporan 20 halaman. Bahkan, jika dalam sebuah balapan hanya terjadi satu pit stop untuk setiap mobil. Laporan tersebut menjadi bahan analisis dan dievaluasi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja pit stop.

Kru tim Valtteri Bottas, Mercedes W12, saat melakukan pit stop di F1 GP Rusia.

Kru tim Valtteri Bottas, Mercedes W12, saat melakukan pit stop di F1 GP Rusia.

Foto oleh: Steve Etherington / Motorsport Images

 

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Kebijakan Vaksinasi Ganjal Pengemudi Mobil Medis F1
Artikel berikutnya Honda Puas Antar 3 Mobil Tembus Enam Besar F1 GP Turki

Top Comments

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Edisi

Indonesia Indonesia