Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Analisis

Ini Penyebab Pembalap Muda Kerap Sulit Adaptasi di F1

Kejuaraan Dunia Formula 1 2021 yang akan dimulai Maret mendatang akan diramaikan tiga pembalap debutan. Pertanyaannya, seberapa cepat mereka mampu beradaptasi?

Mick Schumacher, Haas VF-20

Mick Schumacher, Haas VF-20

Zak Mauger / Motorsport Images

Tiga pembalap jebolan Formula 2 2020 dipastikan promosi ke Formula 1 tahun depan. Juara dan peringkat kelima F2 2020, Mick Schumacher dan Nikita Mazepin, ditarik Tim Haas F1. Yuki Tsunoda, peringkat ketiga, bakal membela AlphaTauri-Honda.

Nicholas Latifi (Williams Racing-Mercedes) akan menjalani musim keduanya. Sementara, pembalap seperti George Russell (Williams Racing-Mercedes) dan Lando Norris (McLaren) bakal melalui musim ketiganya di F1, tahun depan.

Tidak semua pembalap muda bisa langsung hebat begitu naik kelas ke F1. Pengecualian untuk pembalap sekelas Max Verstappen (Red Bull Racing-Honda) dan Charles Leclerc (Ferrari) yang dengan bakat dan tekniknya mampu menyuguhkan performa tidak terlalu jauh dengan mereka yang sudah senior.

Tim dan mobil yang bagus juga berpengaruh. Itu yang terjadi pada Lewis Hamilton saat debut pada 2007. McLaren – tim yang mensuport Hamilton sejak masih turun di gokar – saat itu tim yang kompetitif.

Namun, mobil yang kompetitif juga tidak akan berarti jika tidak didukung skill, teknik, dan bakat sang pembalap. Secara umum ada sejumlah faktor yang secara umum menyebabkan pembalap muda berbakat di seri-seri junior tetapi kesulitan saat sudah berada di F1.

Yuki Tsunoda melesat di atas AlphaTauri AT01 saat latihan resmi di Abu Dhabi, UEA, 14 Desember 2020 lalu.

Yuki Tsunoda melesat di atas AlphaTauri AT01 saat latihan resmi di Abu Dhabi, UEA, 14 Desember 2020 lalu.

Foto oleh: Zak Mauger / Motorsport Images

Eric Boullier yang pernah menjalankan program pengembangan pembalap muda, Gravity Management, dan mengorbitkan Esteban Ocon (Renault), memiliki analisis soal kesulitan yang dihadapi para pembalap muda di F1.

Salah satu problem yang membuat pembalap muda kesulitan di F1 adalah cepatnya perkembangan mereka naik dari seri-seri junior. Saat ini, Formula 3 dan Formula 2 menjadi ajang yang tepat untuk pembalap belajar bagaimana bekerja dalam grup.

“Saat belum cukup pandai, mereka tiba-tiba promosi ke F1 dan dikelilingi ratusan orang. Di sinilah biasanya para pembalap muda itu mulai kehilangan arah,” kata Eric Boullier.

“Proses kerja dan protokol di F1 sangat berbeda dengan F3 atau F2. Mereka butuh waktu untuk mempelajarinya dan kadang beberapa pembalap muda tidak tahu apa yang harus mereka lakukan karena promosi ke F1 menjadi lompatan sangat besar bagi mereka.”

Para pembalap muda itu juga harus cepat mengubah cara berpikir (mindset) soal sirkuit-sirkuit. Termasuk mengubah teknik dasar mengendarai mobil.

Di seri-seri balap mobil kursi tunggal junior (seperti Formula 3 dan Formula 2), tim bisa mengatur balans (keseimbangan) mobil untuk menyesuaikan dengan gaya pembalap. Hal ini tidak ada di Formula 1.

Di F1, handling setiap mobil tergantung peranti aerodinamika yang didesain menyesuaikan karakter mesin dan bodi mobil. Jadi, jika paket – aerodinamika, power unit, dan bodi – membuat mobil cenderung understeer tapi gaya pembalap oversteer, itu akan menjadi masalah.

Baca Juga:

“Di F1, pembalap harus mengadaptasi teknik balapnya dengan karakter mobil. Itu masih ditambah jenis (kompon) ban yang ia pakai. Itulah mengapa pembalap F1 harus mampu mendapatkan dan mengingat informasi yang sangat banyak sebagai acuan,” ucap Boullier.

Usai menangani Gravity Management, Eric Boullier kemudian dipercaya menjadi Prinsipal Tim Lotus F1 pada 2012-2013. Boullier juga sempat menjadi CEO McLaren pada 2014-2018.

Saat menangani pembalap muda Kevin Magnussen di McLaren, Boullier kembali menemui masalah. Untuk kesekian kalinya ia melihat sulitnya beradaptasi di F1 bisa menghancurkan karier seorang pembalap yang sebetulnya berbakat.

“Sama saja yang terjadi jika Anda dari Formula Renault 3.5 Series ke F1 dan itu lompatan yang sangat besar. Magnussen ingin kompetitif. Jadi, ia menunjukkan bila dirinya mampu,” tutur Boullier.

“Namun, sejumlah insiden yang seharusnya tidak dilakukan membuktikan bila dirinya memang belum siap turun di F1,” Boullier menambahkan.

Dua musim di McLaren (2014, 2015), Magnussen lalu pindah ke Renault pada 2016. Kemudian, sejak 2017, pembalap asal Denmark itu memperkuat Haas F1 namun kontraknya tidak diperpanjang pada akhir musim 2020 lalu.

Seperti Hamilton, Kevin Magnussen juga masuk ke F1 lewat Program Pembalap Muda Tim McLaren. Jadi, mampukah F1 memberikan kesempatan lebih besar kepada pembalap muda untuk berkarier?

Saat Lewis Hamilton mengawali karier di F1, McLaren memiliki fondasi yang lebih kuat untuk pembalap muda karena regulasi saat itu tidak terlalu dibatasi. Itulah salah satu perbedaan signifikan karena dengan banyak latihan kemampuan handling pembalap kian terasah.

“Seharusnya antara F2 dan F1 ada semacam program tes untuk pembalap agar mereka bisa belajar cara menghadapi lingkungan teknologi yang baru, serta mengenal mobil lebih dalam,” kata Eric Boullier.

“Dengan begitu, para pembalap muda ini bisa memiliki kesempatan untuk mengenal hal-hal teknis yang baru dan bagaimana berinteraksi dengan tim. Saya yakin tes wajib selama enam hari sudah cukup dan bisa membuat perbedaan besar untuk mereka.”

 

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Brown Bantah McLaren Bakal Jadi Tim Satelit Mercedes
Artikel berikutnya Red Bull Siap Pinjamkan Alexander Albon

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia