Saat Tampilan Tidak Didukung Performa
Selama ini, sebagian besar tim-tim di Kejuaraan Dunia Formula 1 dikenal piawai membuat mobil yang tidak hanya bagus dari sisi estetika tetapi juga performa.
Alain Prost, Ferrari 643
Namun begitu, dalam sejarah Formula 1 yang resmi dimulai pada 1950, tidak sedikit mobil yang dari sisi fisik, tampilan, dan estetika, sangat mengagumkan tetapi tak didukung performa mumpuni di lintasan.
Berikut beberapa mobil Formula 1 yang tercatat mampu “menipu” penggemar lewat bentuk tetapi mengecewakan dari sisi kecepatan maupun daya tahan.
Aston Martin DBR4 1959
Carroll Shelby saat turun dengan Aston Martin DBR4/250 di lomba GP Belanda 1959.
Foto oleh: Motorsport Images
Debut Aston Martin di F1 pada 1959 mungkin patut dilupakan. Tetapi, desain mobil mereka saat itu, Aston Martin DBR4, pantas dijadikan ikon karena bentuknya yang tidak biasa pada zamannya.
Sekilas, desain DBR4 yang kala itu dikemudikan Roy Salvadori dan Carroll Shelby mirip dengan Maserati 250F, bodi mobil sudah rendah dengan posisi mesin di depan. Aston Martin lebih mentereng karena warna hijau khas mereka.
Tetapi, dari sisi teknis desain, baik Aston Martin maupun Maserati saat itu sudah tertinggal. Dengan mesin RB6 2.5 L6, bagian depan Aston Martin DBR4 tidak hanya terihat sangat besar (karena mesin enam silinder segaris). Distribusi berat juga menjadi tidak bagus.
Hanya turun di empat dari total delapan balapan F1 1959, DBR4 tidak mampu merebut poin. Aston Martin kalah jauh dari Cooper-Climax yang saat itu hanya menggunakan mesin 1.500 cc empat silinder.
Cooper T86 1967
Jochen Rindt beraksi dengan Cooper T86 bermesin Maserati di GP Italia 1967.
Foto oleh: Motorsport Images
Cooper menghentak jagat Formula 1 saat melakukan revolusi sasis dengan menempatkan mesin di belakang (rear-engined) pada 1958. Tetapi, pada 1967, Cooper bukan kekuatan yang sama lagi.
Desain Cooper T86 rancangan Derrick White ini terlihat sangat agresif. Knalpot dibiarkan terlihat dan mengeluarkan suara keras dari mesin Maserati 2.983 cc V12 naturally aspirated yang diletakan di tengah (mid-mounted).
Saluran udara (air scoop) juga dibuat besar seperti wajah ular. Sedangkan sasis monokok aluminium yang ringan terlihat rendah karena T86 memakai ban besar.
Masalah pada Cooper T86 adalah daya tahan dan kecepatan yang buruk dari mesin Maserati yang saat itu mulai menua. Mesin mobil Jochen Rindt meledak di GP Amerika Serikat karena panas akibat kelebihan putaran mesin (over-revved).
Shadow DN5 1975
Tom Pryce mampu naik podium ketiga GP Austria 1975 dengan Shadow DN5 Ford.
Foto oleh: David Phipps
Desain warna Shadow DN5 milik UOP Shadow Racing Team yang turun di F1 1975 memang intimidatif. Ditambah air intake yang dibuat tinggi, Shadow DN5 memang mirip jet darat yang terlihat cepat.
Faktanya, keandalan (reliability) Shadow DN5 sangat buruk. Jean-Pierre Jarier hanya mamu finis tiga kali dari 14 lomba yang diikutinya (total balapan saat itu 14).
Menariknya, Shadow DN5 mampu merebut pole position di lomba pertama dan kedua, Argentina dan Brasil, lewat Jarier dan di Inggris (ke-10) lewat Tom Pryce. Yang membuat frustrasi, setiap Shadow DN5 merebut pole, saat itu pula mereka selalu tidak mampu finis.
Tom Pryce berhasil mempersembahkan podium ketiga di GP Austria. Total, ia hanya mengoleksi 8 poin untuk berada di posisi ke-10 klasemen akhir. Jean-Pierre Jarier hanya merebut 1,5 poin dan finis di P18 klasemen akhir.
Eksterior Shadow DN5 hasil rancangan Tony Southgate itu memang impresif. Namun, sasis yang menggendong mesin Ford Cosworth DFV 3.0 V8 itu rapuh di dalam.
Arrows A2 1979
Riccardo Patrese mengendarai Arrows A2 Ford di GP Inggris 1979.
Foto oleh: Motorsport Images
Hasil desain Tony Southgate kembali mengundang decak kagum saat Arrow A2 dilansir pada F1 1979. Desain Arrow A2 terbilang radikal dibanding pendahulunya, A1B, yang diturunkan pada tujuh lomba awal F1 1979.
A2 bisa dibilang tidak menggunakan sayap depan untuk mendapatkan gaya tekan. Desain A2 memang terlihat mencolok dari sudut pandang mana pun. Ban botak yang lebar terkesan membalut bodi utama yang ramping dan mulus tanpa sambungan.
Namun, penampilan Arrow A2 yang elegan dan futuristik itu tidak sebanding dengan performanya. A2 tidak bisa stabil, sulit dikendalikan di trek lurus hingga Jochen Mass menyebut handling A2 “mengerikan”.
Diturunkan sejak lomba kedelapan hingga 15 (terakhir), hasil finis terbaik Arrow A2 hanya dua kali finis keenam (Jerman dan Belanda) lewat Mass. Warsteiner Arrows Racing Team pun langsung memensiunkan A2 begitu F1 musim 1979 selesai.
Lotus 101 1989
Nelson Piquet saat turun di GP Australia 1989 dengan Lotus 101 Judd.
Foto oleh: Motorsport Images
Warna kuning mencolok Lotus 101 menjadi ikonik di F1 1989. Warna itu pula yang hingga kini diyakini sebagai salah satu yang terbaik di Formula 1.
Setelah desain yang simpel dengan mesin agresif di era 1960 dan 1970-an, Lotus 101 menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar warna. Sayap belakang menggantung membuat penutup mesin bisa ditonjolkan untuk mengesankan kekuatan mesin Judd CV 3.5 V8.
Sayangnya, desain karya Mike Coughlan dan Frank Dernie itu tidak kompetitif. Nelson Piquet maksimal hanya beberapa kali finis P4. Saturo Nakajima bahkan tiga kali tidak lolos kualifikasi. Namun, Camel Team Lotus masih mampu finis P6 di klasemen akhir di F1 1989.
Leyton House CG901 1990
Ivan Capelli mampu finis P2 di GP Prancis 1990 dengan Leyton House CG901 Judd.
Foto oleh: Motorsport Images
Mobil rancangan Adrian Newey (kini ahli aerodinamika Red Bull Racing) ini menjadi basis rancangan mobil F1 yang tidak hanya ramping dan efisien. Sayangnya, Leyton House CG901 ini tidak sesempurna mobil-mobil desain Newey setelahnya.
Dikendarai oleh Ivan Capelli dan Mauricio Gugelmin, performa mobil tim Leyton House Racing ini sangat mengecewakan, maksimal finis P10 dalam lima balapan awal.
Upaya keras Newey mulai terlihat berhasil pada lomba ketujuh, GP Prancis, saat Capelli finis P2 di belakang Alain Prost (Ferrari). Ironisnya, Newey justru pergi setelah GP Prancis.
Dari 16 balapan, Capelli dua kali tidak lolos kualifikasi dan 10 kali mundur dari lomba. Gugelmin lebih buruk karena empat kali tidak lolos kualifikasi, enam kali mundur dari lomba dengan hasil finis terbaik keenam (Belgia).
Leyton House Racing pun tidak melanjutkan pengembangan sasis CG901 untuk platform sasis-sasis berikutnya sampai tim ini benar-benar mundur dri F1 pada awal 1993.
Ferrari 642 dan 643 1991
Jean Alesi melibas salah satu tikungan Sirkuit Monte Carlo, GP Monaco, pada 1991 dengan Ferrari 642.
Foto oleh: Ercole Colombo
Alain Prost pasti tidak pernah menyangka bila musim terakhirnya bersama Ferrari pada 1991 berakhir tragis. Untuk kali pertama sejak 1980, Prost tidak mampu memenang lomba dalam semusim, baik dengan Ferrari 642 maupun penerusnya, 643.
Kekesalan Prost – juara dunia F1 empat kali (1985, 1986, 1989, 1993) – diungkapkan ke media seraya membandingkan handling Ferrari 643 (foto utama) seperti truk. Akibatnya, Ferrari memecat Prost menjelang balapan terakhir (16) musim itu, GP Australia.
F1 1991 menjadi kali pertama bagi Ferrari gagal memenangi lomba dalam semusim setelah sebelumnya dalami pada 1986. Akibatnya, Tim Kuda Jingkrak tertinggal hingga 65,5 poin dari Williams-Renault di P2 klasemen dan 83,5 poin dari sang juara, McLaren-Honda.
Kendati begitu, dari sisi desain, tidak ada yang menyangkal betapa bagusnya Ferrari 642 dan 643 hasil desain Steve Nichols dan Jean-Claude Migeot tersebut.
Jordan 191 1991
Jordan 191 yang dikendarai Andrea de Cesaris pada F1 1991 ini masih diyakini sebagai salah satu mobil dengan desin terindah di F1.
Setuju atau tidak, Jordan 191 hasil rancangan Gary Anderson sampai saat ini diyakini sebagai salah satu mobil dengan desain terindah dalam sejarah F1.
Sayap belakang tidak terlalu lebar dengan posisi tinggi. Air intake kiri-kanan didesain mengalir ke belakang hingga tersambung ke diffuser. Airbox juga dirancang seperti aliran ombak dari atas ke belakang. Hidung mobil sedikit lebih tinggi dengan sayap depan unik.
Sayang, desain apik Jordan 191 tidak dibarengi hasil di lintasan. Hasil terbaik Andrea de Cesaris hanya dua kali finis P4. Bertrand Gachot berhenti usai balapan ke-10 (dari total 16) sehingga memberi kesempatan Michael Schumacher debut F1.
Pada akhir musim, Jordan-Ford mampu finis di peringkat kelima konstruktor dengan hanya meraup 13 poin. Tetapi, selisih poin dengan McLaren-Honda sebagai juara sangat kontras, hingga 126!
Jaguar R1 2000
Inilah ilustrasi Jaguar R1 yang performanya tidak sesuai ekspektasi di F1 2000.
Foto oleh: Camille De Bastiani
Seusai Ford mengakuisisi Stewart Grand Prix, tim tersebut mengganti nama menjadi Jaguar Racing Formula One. Warna hijau metalik Jaguar R1 membuatnya berkilau saat diterpa sibar matahari.
Gambar kucing besar asli Amerika Selatan, jaguar, sedang melompat sangat pas diletakan di penutup mesin. Tetapi, hasil terbaik Jaguar R1 di F1 2000 hanyalah finis P4 di GP Monaco lewat Eddie Irvine.
Mesin Cosworth CR-2 3.0-litre V10 yang dinilai kurang, mobil yang sulit dikendarai, serta daya tahan gearbox yang buruk menjadi beberapa faktor yang membuat Jaguar R1 tidak kompetitif.
Jaguar pun finis di P9 dari 11 tim di klasemen akhir F1 2000 dengan hanya mengoleksi empat poin – hanya dari torehan Eddie Irvine – pada musim pertamanya di F1.
McLaren MP4-30 2015
Jenson Button tidak bisa start di GP Bahrain 2015 setelah kendala teknis pada Energy Recovery System (ERS) di McLaren MP4-30.
Foto oleh: Glenn Dunbar / Motorsport Images
Mobil McLaren-Honda pertama sejak 1992 ini sempat mencuatkan asa kebangkitan tim asal Woking, Inggris, itu. Warna abu-abu metalik dengan kombinasi garis merah kian menegaskan unsur agresif MP4-30.
Prinsipal Tim McLaren saat itu, Eric Boullier, pun menyebut paket mesin dari Honda sungguh luar biasa. Selain desain grafis model teardrop pada hidung mobil, tentunya.
Faktanya, duet juara dunia, Fernando Alonso (2005 dam 2006) dan Jenson Button (2009) hanya bisa melihat Mercedes merebut gelar ganda kedua mereka pada musim tersebut. McLaren finis di P9 klasemen akhir konstruktor, hanya unggul atas Manor-Marussia.
Hasil finis terbaik Button hanya P6 (di AS) dan lima kali mundur dari lomba untuk berada di P16 klasemen pembalap. Alonso lebih buruk setelah finis terbaiknya cuma P5 (Hungaria) dengan tujuh kali gagal finis dan berada di P17 klasemen akhir.
Warna abu-abu pada MP4-30 tidak dipakai setelah empat lomba (GP Bahrain) karena bos McLaren saat itu, Ron Dennis, memilih warna hitam. McLaren mulai memakai warna oranye sejak F1 2017. Alasannya, warna tersebut melambangkan masa depan yang cerah.
Be part of Motorsport community
Join the conversationShare Or Save This Story
Subscribe and access Motorsport.com with your ad-blocker.
From Formula 1 to MotoGP we report straight from the paddock because we love our sport, just like you. In order to keep delivering our expert journalism, our website uses advertising. Still, we want to give you the opportunity to enjoy an ad-free and tracker-free website and to continue using your adblocker.
Top Comments