Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Special feature

Memelihara Sirkuit Lebih Sulit daripada Membangunnya

Memelihara lebih sulit daripada membangun sepertinya berlaku untuk beberapa sirkuit di Indonesia. Penyebabnya selain dana adalah kurangnya dorongan untuk pengelola.

Irawan Sucahyono, Konsultan motorsport dan desainer sirkuit

Foto oleh: Motorsport.com Indonesia

Indonesia sejatinya memiliki belasan sirkuit permanen dan lebih sedikit trek jalan raya, yang sifatnya non-permanen. Dalam pembangunan beberapa di antaranya, ada tangan Irawan Sucahyono.

Berawal pada kecintaan terhadap dunia otomotif ditambah ilmu arsitektur yang dimiliki dan rasa haus untuk belajar, ia pun menggeluti profesi desainer sirkuit.

“Awalnya, saya hobi otomotif. Dulu pernah menjadi konsultan arsitektur dan kontraktor. Lalu saya diberi kesempatan mendesain sirkuit, merenovasi, jadi ilmu arsitek terpakai,” Irawan mengisahkan.

“Boleh dibilang saya learning by doing. Saya sering mengikuti proses inspeksi trek FIA (Federasi Otomotif Internasional) dan FIM (Federasi Olahraga Motor Internasional) sejak bekerja di Sirkuit Sentul mulai 1993. Kala itu, saya masih magang sebagai secretary of meeting sehingga berhubungan dengan steward, direktur balap, orang-orang dari FIA dan FIM. Kami bahas sirkuit, bahas motorsport, lama-lama paham.

“Setelah dijalani, sebenarnya membangun sirkuit itu mudah, yang penting mengerti kegunaan, detailnya bagaimana.”

Sejauh ini, pria asal Surabaya tersebut sudah mengerjakan trek BSD City dan yang terbaru adalah Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC). Keduanya menyandang nama sirkuit jalan raya tapi sejatinya punya karakter berbeda, di mana trek untuk Formula E itu semipermanen.

Tentu saja, dalam pembangunannya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda.

“Kesulitan di konstruksi. Kalau jalan raya, kita waktunya ketat. Itu jalan raya dipakai. Kalau Ancol jalan raya tapi tidak ada yang pakai, jadi beda. Kalau Mandalika label street circuit, tapi sebenarnya bukan jalan raya jadi tidak ada kendala besar,” ujarnya.

“Yang ada kendalanya, Karawaci karena jalan ramai. Pengerjaan tidak bisa lama karena jalan dipakai oleh umum. Dikasih waktu cuma sedikit waktu pengerjaan itu, tapi perencanaan butuh waktu lama, sudah disiapkan perencanaannya untuk mempercepat proses pembangunan.

“Jalan raya, harus lebih teliti karena ada dua hal penting. Satu, harus dilihat skid resistance, gripnya harus lebih bagus. Kedua, dari sisi kerataannya harus rata. Lainnya sama seperti trek permanen, harus miring agar tidak menggenang air. Kalau rata inginnya di jalan raya rata, tapi kondisinya seperti itu.

“Lebih mudah membuat sirkuit permanen, tidak ada yang lewat, tak ada gangguan."

Dari editor, baca juga:

Konsultan motorsport itu juga mengisahkan liku-liku mendesain JIEC yang berbentuk seperti kuda lumping. Menariknya, Irawan mengaku kalau konsep itu tak terpikirkan sebelumnya.

Bentuk kuda lumping muncul setelah pihaknya melakukan penyesuain kondisi di lapangan.

“Awalnya tidak terpikir. Tapi, secara kebetulan bentuknya mau tidak mau seperti itu karena lahan mepet, kita butuh straight di titik itu. Seperti straight 600 meter, mau tidak mau di situ karena tidak ada tempat lagi. Kenapa harus minggir seperti kepala kuda karena memang lahan cuma adanya di situ,” katanya.

“Jadi desain dulu baru namanya. Tidak ada ide kuda lumping.”

Terkait dengan klaim JIEC sebagai sirkuit paling kompetitif dibandingkan tuan rumah Formula E lainnya, Irawan memiliki jawaban.

“Sebetulnya paling cepat. Kompetitif karena kalau sirkuit lain, jalan raya dipasang blok jadi street circuit jadi tidak bisa bervariasi karena sesuai dengan jalan yang sudah ada. Kalau sirkuit Ancol sebagian besar dibikin baru sehingga mudah memodifikasi seperti yang kita inginkan,” tuturnya.

“Contohnya overtake, kalau ada lintasan lurus panjang biasanya menyusul pasti di ujungnya. Di sini, ada tikungan-tikungan tertentu ada kesempatan menyusul.

“Kalau sirkuit ini baru dibikin maka kita bisa memperlebar dengan mudah, contohnya. Itu tidak bisa terjadi di sirkuit lain. Mau melebar bagaimana semua jalan kan rata. Itu lebih kompetitif dalam arti lebih mudah menyalip di titik-titik tertentu karena sudah didesain untuk tempat overtake.”

Kurang Terawat

Sirkuit Internasional Sentul merupakan salah satu yang tertua di mana pembangunannya selesai tiga dekade silam. Di masa lalu, tempat itu pernah masuk dalam kalender MotoGP 1996-1997.

Gelaran A1 Grand Prix, Asia Talent Cup dan Asia Road Racing Championship juga pernah dilangsungkan di sana. Belakangan, lebih banyak kompetitif balap domestik digelar di sana.

Menurut Irawan, kejayaan masa lalu tidak bisa diulang karena kualitas sirkuit tersebut sudah tertinggal jauh dengan persyaratan untuk mendapatkan grade A.

“Tidak bisa. MotoGP butuh lisensi grade A, tidak bisa naik sampai ke grade A karena persyaratannya lebih sulit. Dulu Sentul bisa grade 1, sekarang grade 1 speknya jauh. Yang paling mungkin, mengejar grade 2,” ucapnya.

“Orang menganggap Sentul harus renovasi dan ada event besar. Ini berkaitan. Siapa saja boleh menggelar event. Contoh, Indonesia tuan rumah Asian Games, mau tidak mau Gelora Bung Karno jadi bagus.

“Jangan harapkan hanya Sentul yang bikin event. Ajang itu harus siapa pun boleh menggelar, jadi diperbaiki.”

Penurunan kualitas juga diperlihatka beberapa sirkuit lain. Menurut Irawan, biaya perawatan memang sangat besar. Oleh karena itu, ia menyarankan kerja sama dengan pemerintah setempat atau membuat skema bisnis.

“Mungkin karena sirkuit tidak mudah dijadikan lahan bisnis. Kalau bisa, mungkin akan dirawat,” ujarnya.

“Jakarta International Stadium jadi punya Jakpro, arena berkuda di Pulomas, Velodrome di Rawamangun juga. Biaya pemeliharaan, jomplang dengan pendapatan.

“Mending sistem kaya Pemerintah DKI Jakarta, bayar biaya pemeliharaan sehingga jadi venue bisa bagus. Yang menjalankan Jakpro, pendapatan tak seberapa tapi arena tetap bagus karena DKI yang bayar.

“Kalau Skyland diserahkan, misal pendanaan untuk pemeliharaan diserahkan kepada Kabupaten Sekayu, pasti bagus terus. Bikin event Ok, tidak usah diurusi pemerintah daerah. Swasta bisa menyewa untuk bikin event.

“Mereka bangun sirkuit bisa, perawatan harus. Ini tidak, begitu dibangun tidak diberi dana perawatan. Fasilitas olahraga bukan bisnis, kalau bisa untung pasti semua buka arena tersebut.”

Masih banyak hal menarik lain berkaitan dengan motorsport yang dibahas Irawan Sucahyono bersama M. Wahab S. dalam episode #5 Obrolan Garasi. Untuk selengkapnya, silakan simak videonya di kanal YouTube Motor1.com Indonesia atau player di bawah ini.  

 

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Obrolan Garasi #5: Motorsport Bisa Jadi Industri Menjanjikan
Artikel berikutnya Obrolan Garasi #6: Ahmad Jayadi Ingin Indonesia Miliki Ikon Balap

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia