Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia
Analisis

Analisis statistik: Masih bisakah Lorenzo juara dunia MotoGP?

Dengan sembilan balapan tersisa dalam kalender MotoGP 2016, juara dunia bertahan Jorge Lorenzo memiliki tugas besar untuk mempertahankan mahkotanya. Jamie Klein menggali rekor stastistik untuk melihat peluang pembalap Spanyol itu.

Jorge Lorenzo, Yamaha Factory Racing

Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images

Hingga pertengahan musim, Marc Marquez tak pelak berada dalam posisi cukup bagus.

Marquez memimpin puncak klasemen sementara dengan keunggulan 48 poin atas Lorenzo. Andai pembalap Repsol Honda itu gagal mencetak poin dalam dua balapan beruntun, ia kemungkinan besar masih memimpin kejuaraan, atau paling buruk hanya terpaut dua poin.

Tapi, dalam konteks sejarah, kepemimpinan Marquez akan menjadi lebih impresif – dan tugas Lorenzo untuk memangkas jarak semakin sulit.

Sistem poin MotoGP pertama kali digunakan pada 1993, dan dengan demikian merupakan titik awal yang ideal untuk analisis ini - terutama karena musim sebelumnya melemparkan sebuah anomali besar, seperti Wayne Rainey yang membalikkan defisit 65 poin [80 dalam sistem poin sekarang], sebagai hasil atas cedera Mick Doohan pada pertengahan musim.

Sejak itu, pembalap yang tertinggal perolehan poin keluar sebagai juara dunia hingga Marquez pada 2013. The Baby Alien menguntit Dani Pedrosa dari posisi kedua dan dengan selisih 30 poin, sebelum ia lalu mengalahkannya pada pertengahan musim.

Musim lalu, Lorenzo tertinggal 29 poin dan akhirnya sukses mengalahkan Valentino Rossi dalam duel yang tidak terlupakan. Sementara Mick Doohan juga melakukan hal serupa saat tertinggal perolehan poin dari Daryl Beattie pada 1995.

Ketiga contoh di atas adalah contoh di mana defisit poin lebih bernilai daripada poin hasil kemenangan, pengecualian atas kasus seperti ketika Rossi gagal merebut gelar juara pada 2006. 

Defisit poin terbesar yang dibalikkan (sejak 1993):

TahunJuara DuniaDefisitDenganSetelah
2013  Marc Marquez 30 points  Dani Pedrosa 6 dari 18 balapan
1995  Mick Doohan 29 points  Daryl Beattie 5 dari 13 balapan
2015  Jorge Lorenzo 29 points  Valentino Rossi 3 dari 18 balapan
1998  Mick Doohan 25 points  Max Biaggi 1 dari 14 balapan
2011  Casey Stoner 24 points  Jorge Lorenzo 3 dari 18 balapan
1999  Alex Criville 21 points  Kenny Roberts Jr 2 dari 16 balapan
Marc Marquez, Repsol Honda Team
Marc Marquez, Repsol Honda Team

Foto oleh: Repsol Media

Perlu juga diperhatikan bahwa, sejak 1993, hanya tiga kali pembalap yang menikmati keunggulan poin terbesar dalam sembilan balapan tersisa.

Pada titik ini dua tahun lalu – setelah menang dari setiap sembilan balapan pertama – Marquez memimpin 72 poin atas rival terdekatnya, Rossi dan Pedrosa.

Defisit poin terbesar itu pernah dialami Rossi pada 2005, ketika ia unggul 79 poin atas Marco Melandri dari hanya delapan balapan.

Tiga tahun sebelumnya, tepatnya pada 2002, The Doctor unggul 62 poin atas rekan setimnya di Repsol Honda, Tohru Ukawa dalam tujuh balapan.

Keunggulan terbesar dengan sembilan balapan tersisa (sejak 1993):

TahunPemimpin KlasemenUnggulAtasSetelah
2005  Valentino Rossi 79 points  Marco Melandri 8 dari 17 balapan
2014  Marc Marquez 77 points

 Dani Pedrosa

9 dari 18 balapan

2010 Jorge Lorenzo 72 points Dani Pedrosa 9 dari 18 balapan
2002  Valentino Rossi 62 points  Tohru Ukawa 7 dari 16 balapan
2016  Marc Marquez 48 points  Jorge Lorenzo 9 dari 18 balapan
1997  Mick Doohan 43 points  Alex Criville 6 dari 15 balapan
2006  Nicky Hayden 42 points  Dani Pedrosa 8 dari 17 balapan
1996  Mick Doohan 40 points  Luca Cadalora 6 dari15 balapan

Dan pada tiga musim ­– 2003 (Rossi), 1999 (Criville) dan 2000 (Roberts) – memiliki pembalap dengan keunggulan 25 poin atau lebih di sembilan balapan tersisa. Ketiga pembalap itu sukses merebut gelar juara dunia.

Singkatnya, sejak 1993, tidak ada pembalap yang unggul perolehan poin dalam tahap ini untuk kehilangan gelar juara. Kasus berbeda pada Nicky Hayden yang unggul 42 poin dan menjadi defisit delapan poin jelang seri pamungkas di Valencia 2006.

Mungkin perbedaan terbesar antara Hayden pada 2006 dan Marquez pada 2016 adalah bahwa keunggulan Hayden dibangun melalui penampilan konsisten. Sedangkan, Marquez memimpin klasemen karena kecepatan.

Nicky Hayden
Nicky Hayden

Foto oleh: Repsol Media

Sejauh ini tampaknya suram bagi Lorenzo untuk mengejar ketertinggalan. Tapi ada satu area yang dapat dilihat pembalap Spanyol itu tentang berapa banyak poin yang diraup dalam sembilan balapan tersisa.

Performa terbaik Lorenzo datang pada 2010, ketika ia mencetak 215 poin (10 dari maksimum) dengan tujuh kemenangan dan dua posisi kedua, mulai balapan di Jerez ke Brno.

Tapi penting untuk menunjukkan bahwa posisi Lorenzo saat itu cukup lemah. Dalam periode sembilan balapan itu, Rossi dipaksa absen karena cedera patah kaki di Mugello, dan tidak butuh waktu lama bagi The Doctor untuk menemukan kembali performanya.

Itu berarti bergantung pada Dani Pedrosa dan Casey Stoner yang menahan Lorenzo. Ketika saat itu, motor Honda dan Ducatik kalah dari Yamaha.

Mungkin patokan yang lebih representatif adalah ketika Lorenzo mencetak poin dalam sembilan balapan musim lalu, yakni 187 poin antara Jerez dan Silverstone – dengan lima kemenangan, satu kali finis kedua, satu kali finis ketiga dan dua kali posisi keempat.

Pada periode yang sama, Marquez hanya mencetak 123 poin, selisih 54 dari Lorenzo. Dan juga disebabkan karena tiga kali tidak finis. Pengulangan skenario dalam balapan tersisa tahun ini [meskipun pada sirkuit berbeda] mungkin akan menobatkan Lorenzo sebagai juara dunia.

Marc Marquez, Repsol Honda Team overtakes Jorge Lorenzo, Yamaha Factory Racing
Marc Marquez, Repsol Honda Team overtakes Jorge Lorenzo, Yamaha Factory Racing

Honda Racing

Kendati demikian, pada sembilan balapan pertama musim ini, Lorenzo tidak hanya dua kali tidak finis tapi juga mencetak tujuh poin dari dua balapan terakhir. Jika ingin mempertahankan gelar juara, ia sudah jelas tidak boleh lagi tidak finis. Sebaliknya, Marquez bisa juara hanya dengan satu kali DNF (Did Not Finish/Tidak Finis).

Akan tetapi, Marquez juga tak boleh percaya diri berlebihan. Pada musim 2014, ia mengalami dua kali kecelakaan secara beruntun di Misano dan Aragon.

Walaupun begitu, perolehan poin yang dicetak Marquez pada 2015 [128] jauh lebih rendah ketimbang musim 2014 (137).

Musim ini, Marquez dapat juara dunia jika ia mampu mencetak 128 poin – total akan menjadi 298 poin - hingga seri pamungkas di Valencia. Dan itu akan membuat Lorenzo harus mencetak 176 poin untuk menyamai perolehan total poin Marquez.

Hanya satu kali Lorenzo mampu meraup banyak perolehan poin dari sembilan balapan terakhir, yaitu 193 poin pada 2013.

Selain memikirkan defisit poin, Lorenzo juga masih harus menghadapi Rossi yang sekali lagi menjelma sebagai ancaman, Ducati yang berburu finis di podium, Suzuki yang bangkit dan mampu mencuri barisan depan, serta tentu saja Marquez yang kini memimpin klasemen sementara.

Jika Lorenzo entah bagaimana mampu melakukannya, maka itu akan menjadi comeback terbesar dalam sejarah modern MotoGP. Tapi itu ‘jika’.

Jorge Lorenzo, Yamaha Factory Racing
Jorge Lorenzo, Yamaha Factory Racing

Foto oleh: Gold and Goose Photography

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Analisis: Alberto Puig mengulas paruh musim MotoGP
Artikel berikutnya Ducati tak penuhi target pada paruh pertama musim

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia