Bos Ducati Sebut Top Speed Tidak Bahayakan Pembalap
Direktur Sport Ducati Corse Paolo Ciabatti menjelaskan bila top speed di Kejuaraan Dunia MotoGP bukan penyebab utama sebuah kecelakaan menjadi insiden fatal.
Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images
Rekor kecepatan tertinggi (top speed) di Kejuaraan Dunia MotoGP 2021 berhasil beberapa kali pecah tahun ini. Puncaknya, Johann Zarco (Pramac Racing) berhasil menembus 362,4 km/jam di trek lurus Sirkuit Losail pada sesi FP4 GP Qatar, akhir Maret lalu.
Namun, sekira dua bulan kemudian, Brad Binder (Red Bull KTM Factry Racing) mencatat top speed yang sama persis pada FP3 GP Italia di Sirkuit Mugello.
Tidak hanya publik yang bergidik, para pembalap MotoGP pun takjub melihat motor 1.000cc V4 dengan tenaga hampir 290 hp mampu melesat 362,4 km/jam di trek lurus sepanjang sekira 1 km tersebut. Tetapi, tidak sedikit pula yang menilai top speed setinggi itu berbahaya.
Sejak menggantikan kelas 500cc sebagai kategori tertinggi di kejuaraan dunia pada 2002, MotoGP sudah beberapa kali mengubah regulasi. Pada 2007 sampai 2011, kapasitas mesin dikurangi dari 990cc menjadi 800cc dengan alasan top speed mengkhawatirkan karena mampu menebus lebih dari 345 km/jam.
Pada 2012, kapasitas mesin dinaikan menjadi 1.000cc sedangkan volume tangki beberapa kali diubah dari 20, 21, dan kini 22 liter. Peningkatan dari 20 ke 22 liter terjadi pada 2016 bersamaan dengan mulai dipakainya unit kontrol elektronik seragam dari Magneti Marelli.
Setelah rekor top speed MotoGP beberapa kali pecah tahun ini, sejumlah komponen terkait ukuran kembali muncul untuk didiskusikan.
Seperti diketahui, keenam pabrikan sepakat untuk menstabilkan posisi di MotoGP dengan sejumlah regulasi teknik yang mendukung agar anggaran tetap terkontrol. Namun, pengurangan kapasitas mesin tidak termasuk dalam agenda diskusi.
Kapasitas tangki kemungkinan harus dikurangi lagi secara bertahap dari 22, 21, dan 20 liter. Bahan bakar juga harus dibuat dari energi terbarukan dan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Paolo Ciabatti, Ducati Corse Sporting Director
Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images
Sebagian besar pabrikan tidak antusias tentang ide-ide ini. Mereka yang sudah terbiasa menang dengan regulasi saat ini, tentu ingin mempertahankan status quo.
Tetapi, sejumlah pihak tetap ingin agar top speed MotoGP tidak sekencang seperti saat ini karena menganggapnya berbahaya. Tewasnya Jason Dupasquier (CarXpert Prüstel GP) pada kualifikasi Moto3 Italia menjadi acuan.
Faktanya, pembalap muda asal Swiss itu meninggal di atas motor yang hanya berkapasitas 250cc satu silinder dengan tenaga maksimal 55 hp. Tiga dari empat kecelakaan terakhir yang menewaskan pembalap terjadi akibat terlindas lawannya setelah terjatuh.
Itu yang terjadi pada Shoya Tomizawa di Moto2 San Marino 2010, Marco Simoncelli di MotoGP Malaysia 2011, dan Dupasquier. Sementara, Luis Salom mengalami cedera fatal di Moto2 Catalunya karena area run-off tidak cukup lebar.
“Jika Anda mencermati kecelakaan fatal di Mugello lalu, itu terjadi pada motor yang sangat kecil, bukan motor yang memiliki kecepatan sangat tinggi,” ucap Paolo Ciabatti seperti dikutip Speedweek.com.
Meskipun begitu, Ciabatti mengingatkan apa saja konsekuensi yang sangat membahayakan pembalap setelah terjatuh. Karena itulah, menurutnya, pembalap tidak boleh hanya terfokus pada top speed saja.
Zarco mampu membuat top speed fantastis di Losail karena saat itu ia terbantu tailwind (angin bertiup searah dengan arah lintasan). Itu juga menjadi salah satu penyebab ia agak kehilangan kontrol di akhir trek lurus Losail. Binder akhirnya mampu menandinginya di Mugello.
“Menurut saya, bahaya kecelakaan datang dari dinamika yang muncul saat insiden terjadi. Kecepatan bukanlah faktor yang menentukan fatal atau tidaknya insiden tersebut.
“Kecelakaan serius terjadi ketika pembalap jatuh dan mereka yang di belakangnya tidak dapat menghindar. Semua orang tahu bahwa tabrakan dengan tubuh manusia bisa berakibat fatal bahkan pada kecepatan 50 atau 60 km/jam.
“Gaya inersia (kelembaman) pada sepeda motor dengan berat lebih dari 200 kg memiliki efek yang kuat dan dapat menyebabkan banyak kerusakan. Bahkan pada kecepatan rendah.”
Paolo Ciabatti menambahkan, bahaya lainnya adalah jika pembalap terjatuh, sepeda motor akan mengikuti arah tubuh pembalap tergelincir dan akhirnya ikut menghantam pembalap ke dinding pembatas.
Karena itulah, menurut Ciabatti, mengurangi kapasitas tangki bahan bakar motor MotoGP – dengan harapan set-up diubah agar menjadi lebih hemat hingga kecepatan sangat tinggi bisa dihindari – tidak akan menyelesaikan masalah.
Mengurangi bahaya pada balap motor, bagi Paolo Ciabatti, tidak ada hubungannya dengan performa mesin atau top speed. Berbagai dinamika setelah kecelakaan, misal benturan, adalah penyebab fatalnya sebuah kecelakaan. Sayangnya, itu memang sulit dihindari di balap.
“Di mata saya, risiko bahaya di Moto3 jauh lebih tinggi karena 20 pembalap mampu berada sangat dekat. Saat pembalap bertarung wheel-to-wheel begitu dekat karena performa motor yang praktis sama, itulah yang sangat berbahaya,” ucap Ciabatti.
Brad Binder, Red Bull KTM Factory Racing
Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images
Be part of Motorsport community
Join the conversationShare Or Save This Story
Subscribe and access Motorsport.com with your ad-blocker.
From Formula 1 to MotoGP we report straight from the paddock because we love our sport, just like you. In order to keep delivering our expert journalism, our website uses advertising. Still, we want to give you the opportunity to enjoy an ad-free and tracker-free website and to continue using your adblocker.
Top Comments