Naik-Turun Hubungan Vinales-Yamaha
Keputusan Maverick Vinales meninggalkan Yamaha pada akhir musim MotoGP 2021, Senin (28/6/2021), sangat mengejutkan. Apakah penyebab sebenarnya?
Maverick Vinales dan Yamaha resmi memutuskan kontrak kerja sama yang seharusnya baru habis pada akhir MotoGP 2022. Setelah lima tahun, kedua pihak berpisah berdasarkan atas keputusan bersama dengan tidak mempermasalahkan soal kontrak.
Banyak yang berasumsi pembalap kelahiran Figueres, Girona, Spanyol, itu sudah tidak lagi merasa nyaman di Monster Energy Yamaha MotoGP, skuad pabrikan berlogo tiga garpu tala di MotoGP.
Ia pun dengan bulat memutuskan pergi pada akhir musim 2021, sekaligus harus merelakan tidak akan lagi menerima gajinya yang mencapai 8,5 juta euro per musim, kedua tertinggi di MotoGP.
Vinales dipinang tim pabrikan Yamaha pada 2017, setelah menjalani dua musim yang impresif bersama tim pabrikan Suzuki Ecstar. Saat itu, Vinales didatangkan untuk menggantikan Jorge Lorenzo yang hengkang ke Ducati.
Kali pertama turun dengan Yamaha YZR-M1, Vinales langsung mampu menang di GP Qatar, lomba perdana MotoGP 2017. Torehan itu membuat Vinales menjadi pembalap pertama Yamaha yang mampu menang pada lomba perdana setelah Valentino Rossi pada 2004.
Maverick Vinales, Yamaha Factory Racing
Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images
Saat itu, Vinales juga menjadi pembalap pertama setelah Casey Stoner pada 2011 (ke Honda) yang langsung mampu menang bersama tim dan pabrikan baru.
Vinales akhirnya mengakhiri MotGP 2017 dengan berada di P3 usai merebut 230 poin atau 22 poin lebih banyak dibanding rekan setimnya, Rossi. Setelah finis P4 di klasemen akhir MotoGP 2018, Vinales kembali bertengger di posisi ketiga pada 2019.
Hubungan Vinales dengan Yamaha diperkirakan mulai memburuk saat pembalap 26 tahun itu mulai merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerjanya, utamanya dengan performa motor dan tim di sekitarnya.
Hal tersebut ditandai dengan seringnya Vinales mengganti kepala kru (crew chief). Saat awal bergabung dengan Yamaha, 2017, ia didampingi Ramon Forcada yang mantan kepala mekanik Jorge Lorenzo.
Sekira setahun kemudian, tepatnya Agustus 2018, Vinales memutuskan kerja sama dengan Forcada untuk memberikan tempat kepada Esteban Garcia. Pria yang membawanya juara dunia Moto3 2013 sekaligus sahabatnya itu mulai menangani Vinales sejak MotoGP 2019.
Esteban Garcia, Silvano Galbusera, Yamaha Factory Racing
Foto oleh: Gold and Goose / Motorsport Images
Awal bulan ini, Vinales menendang Garcia dan menggantikannya dengan Silvano Galbusera, mantan kepala mekanik Valentino Rossi.
Kerusakan mesin bertubi-tubi yang dialami Yamaha pada MotoGP 2020 hingga mengakibatkan pengurangan poin bagi Monster Energy Yamaha MotoGP dan Petronas Yamaha SRT di klasemen konstruktor, juga mengundang kritik keras dari Vinales.
Sulit untuk menilai apa yang sebenarnya mengubah kondisi paddock Vinales dallam beberapa bulan terakhir yang membuatnya sangat tidak nyaman.
Ada yang menilai Vinales bukan tipe pembalap yang mampu mengatasi masalah, utamanya pada motor. Mentalitasnya juga dinilai kurang bagus karena cenderung tidak mampu merangsek ke depan jika sudah tertinggal jauh di belakang.
Tidak ada yang menyangsikan bila Vinales merupakan salah satu pembalap tercepat di MotoGP jika performa motor, cuaca bagus, dan kondisi trek membuat grip bagus. Masalahnya, jika kombinasi itu tidak ada, Vinales tidak mampu menemukan solusinya.
Problem buruknya motor namun terkesan tidak ditanggapi oleh Yamaha ini sebenarnya sudah diutarakan Rossi sejak ia masih menjadi tandem Vinales di skuad pabrikan.
Saat Rossi pindah ke Petronas SRT, Yamaha mendapatkan penggantinya yang sangat potensial dalam diri Fabio Quartararo mulai MotoGP musim 2021.
Kendati masih muda, pembalap Prancis itu memiliki kecepatan alami, gaya balap bagus, dan kemampuan menyetel motor. Intinya, Quartararo mampu melakukan yang tidak bisa dikerjakan Vinales.
Quartararo bisa membantu set-up motor agar Yamaha YZR-M1 mampu memiliki grip konsisten. Hasilnya bisa terlihat di klasemen pembalap MotoGP menjelang libur musim panas ini.
Dari sembilan balapan yang sudah digelar, Quartararo sudah berhasil mengoleksi empat kemenangan dan dua posisi ketiga hingga memimpin klasemen dengan 156 poin usai memenangi GP Belanda, Minggu (27/6/2021) lalu.
Bandingkan dengan Vinales yang baru sekali menang (lomba pembuka, GP Qatar) dan satu podium kedua di Assen lalu. Vinales kini berada di P6 klasemen dengan 95 poin.
Faktor-faktor di atas itulah yang diyakini membuat Vinales tidak lagi betah di Yamaha. Ia tipe pembalap yang harus memiliki kepercayaan diri dan merasa nyaman untuk bisa cepat.
Tapi untuk tampil cepat diperlukan motor yang sesuai dengannya. Dan, ia merasa para teknisi di Jepang tidak lagi mendengarkannya dalam beberapa musim terakhir. Tanpa faktor-faktor tersebut, Vinales tidak mampu berbuat apa-apa.
Maverick Vinales juga sempat bingung saat Yamaha menawarinya kontrak untuk dua musim pada akhir 2020 lalu, kendati ia banyak melakukan protes dan posisi akhirnya di MotoGP musim lalu tidak memuaskan, peringkat keenam.
Pasalnya, saat itu ia juga dilirik Ducati yang percaya teknik dan gaya balap Vinales bisa digunakan untuk pengembangan Desmosedici GP.
Kini, peluang Maverick Vinales untuk bergabung ke tim pabrikan tinggal bersama Aprilia. Pertanyaannya, jika di Yamaha, yang nota bene dikenal memiliki motor yang mudah dikendarai, Vinales masih kurang puas, bagaimana dengan Aprilia RS-GP yang cukup sulit dikendalikan?
Be part of Motorsport community
Join the conversationShare Or Save This Story
Top Comments
Subscribe and access Motorsport.com with your ad-blocker.
From Formula 1 to MotoGP we report straight from the paddock because we love our sport, just like you. In order to keep delivering our expert journalism, our website uses advertising. Still, we want to give you the opportunity to enjoy an ad-free and tracker-free website and to continue using your adblocker.