Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia

Dua Grand Slam F1 2022, Pertama dalam 43 Tahun

Keberhasilan Max Verstappen memenangi Grand Prix Emilia Romagna, Minggu (24/4/2022) lalu memiliki catatan tersendiri dalam sejarah F1.

Max Verstappen, Red Bull Racing, 1st position, lifts his trophy

Foto oleh: Zak Mauger / Motorsport Images

Juara dunia dari Tim Oracle Red Bull Racing itu mampu tampil sempurna di putaran keempat Kejuaraan Dunia F1 2022 tersebut dengan menorehkan Grand Slam: merebut pole position, memimpin di setiap lap sepanjang 63 lap, mencetak fastest race lap, dan menang.

Bagi Verstappen, inilah Grand Slam kedua sepanjang kariernya di Formula 1. Sebelumnya, pembalap asal Belanda itu melakukannya pada GP Austria 2021 di Sirkuit Spielberg, dengan mengandalkan Red Bull RB16B.

Torehan Verstappen di GP Emilia Romagna lalu menjadi sorotan lantaran itulah Grand Slam kedua di F1 musim ini. Charles Leclerc (Scuderia Ferrari) menjadi pembalap pertama yang membuat Grand Slam musim ini pada GP Australia 2022 di Sirkuit Albert Park, Melbourne.

Charles Leclerc, Ferrari, melakukan selebrasi setelah memenangi GP Australia 2022 sekaligus mencetak Grand Slam.

Charles Leclerc, Ferrari, melakukan selebrasi setelah memenangi GP Australia 2022 sekaligus mencetak Grand Slam.

Foto oleh: Ferrari

Ya, inilah untuk kali pertama dalam sejarah F1, dua Grand Slam mampu dibuat secara beruntun oleh konstruktor dan pembalap yang berbeda.

Fakta menarik lain juga muncul menyusul torehan impresif Leclerc dan Verstappen sejauh empat balapan F1 2022 berjalan. Inilah untuk kali pertama dalam 43 tahun, dua Grand Slam mampu ditorehkan dalam satu musim di Kejuaraan Dunia Formula 1.

Sebelum musim 2022, dua Grand Slam dalam satu musim pernah terjadi pada F1 1979. Dua pembalap yang melakukannya saat itu adalah Jacques Laffite dan Gilles Villeneuve. Ironisnya, sampai akhir karier, keduanya tidak pernah mampu merebut gelar juara dunia.

Pemenang F1 GP Brasil 1979 Jacques Laffite, Ligier mengambil napas dalam di podium didampingi seorang Coca-Cola girl.

Pemenang F1 GP Brasil 1979 Jacques Laffite, Ligier mengambil napas dalam di podium didampingi seorang Coca-Cola girl.

Foto oleh: David Phipps

Laffite mencetak Grand Slam pada GP Brasil 1979 di Sirkuit Autodromo do Interlagos Sao Paulo. Seperti Red Bull Racing di Imola, saat itu Tim Ligier-Ford yang diperkuat duo pembalap Prancis, Laffite dan Patrick Depailler, mampu mendominasi akhir pekan.

Ground-effect sasis JS11 dan set-up brilian para teknisi Ligier membuat Laffite merebut pole position – dengan unggul hingga 7 detik atas rekor pole Interlagos yang dibuat Jean-Pierre Jarier pada 1975 – mencetak fastest lap, dan memimpin di setiap lap hingga finis.

Dominasi Tim Ligier-Ford di Interlagos kian terlihat setelah Depailler, yang start dari grid kedua, mampu naik podium kedua GP Brasil 1979, yang menjadi balapan kedua musim tersebut.

Hebatnya, pada putaran sebelumnya, GP Argentina, Laffite juga mampu mendominasi dengan merebut pole, membuat fastest lap, dan menang.

Podium F1 GP Amerika Serikat Barat: pemenang lomba Gilles Villeneuve, Ferrari (tengah), peringkat kedua Jody Scheckter, Ferrari (kanan), dan posisi ketiga Alan Jones, Williams.

Podium F1 GP Amerika Serikat Barat: pemenang lomba Gilles Villeneuve, Ferrari (tengah), peringkat kedua Jody Scheckter, Ferrari (kanan), dan posisi ketiga Alan Jones, Williams.

Foto oleh: David Phipps

Pada putaran keempat, GP Amerika Serikat Barat (United States Grand Prix West), giliran Gilles Villeneue yang membuat Grand Slam di sirkuit jalan raya Long Beach, California, AS.

Setelah merebut pole, pembalap Tim Ferrari itu kemudian juga membuat waktu lap tercepat, serta memimpin di setiap lap sampai finis. Ayah juara dunia F1 1997 Jacques Villeneuve itu bahkan sudah mencatat fastest lap saat lomba belum separuh berjalan (total 80 lap).

Seperti Red Bull di Imola 2022 dan Ligier di Interlagos 1979, di Long Beach 1979, Ferrari juga menempatkan kedua pembalapnya finis 1-2 setelah Jody Scheckter finis kedua, tertinggal 29 detik lebih di belakang Gilles Villeneuve.

Uniknya, pada akhir musim F1 1979, justru Scheckter yang menjadi juara dunia. Villeneuve harus puas menjadi runner-up sedangkan Laffite yang mengalami retired tiga kali beruntun usai menguasai dua balapan awal (total 8 retired dari 15 balapan) hanya finis P4.   

Baca Juga:

 

 

 

 

 

 

 

Be part of Motorsport community

Join the conversation
Artikel sebelumnya Red Bull Jelaskan Faktor Kemenangan atas Ferrari
Artikel berikutnya Vettel Merasa Peringkat Kedelapan seperti Kemenangan

Top Comments

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak menulis sesuatu?

Sign up for free

  • Get quick access to your favorite articles

  • Manage alerts on breaking news and favorite drivers

  • Make your voice heard with article commenting.

Motorsport prime

Discover premium content
Berlangganan

Edisi

Indonesia